Tiga Sebab Keruntuhan Peradaban Islam di Andalusia
Setelah membaca buku "Kebangkitan Islam di Andalusia" karya Ahmad Mahmud Himayah. Saya memperoleh informasi baru tentang peradaban Islam di Andalusia. Pada kesempatan ini saya ingin membahas informasi baru yang saya peroleh itu. Saya ingin fokus pada tiga catatan besar mengenai sebab keruntuhan peradaban Islam di Andalusia: Pertama, perpecahan umat Islam pada saat itu. Kedua, cinta dunia dan takut mati kaum muslimin khususnya anggota keluarga kerajaan Islam Andalusia. Ketiga, memudar atau hilangnya peran ulama pada saat itu.
Untuk memulai pembahasan poin di atas satu persatu, alangkah baiknya kita menyimak terlebih dahulu sejarah singkat Islam di Andalusia. Tujuannya sebagai pengantar secara umum.
Letak Andalusia
Luas wilayah Andalusia sekitar 700 ribu KM2, meliputi sebagian besar wilayah Spanyol sekarang, seluruh wilayah Portugis, dan sebagian besar wilayah bagian selatan Perancis.
Penaklukan Andalusia
Islam pertama kali masuk ke Andalusia pada tahun 711 M melalui jalur Afrika Utara. Spanyol sebelum kedatangan Islam dikenal dengan nama Iberia/ Asbania, kemudian disebut Andalusia, ketika negeri subur itu dikuasai bangsa Vandal. Dari perkataan Vandal inilah orang Arab menyebutnya Andalusia.
Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu provinsi dari Kekhalifahan Bani Umayah. Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman Khalifah Abdul Malik (685-705 M). Khalifah Abdul Malik mengangkat Hasan bin Nu’man al-Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah al-Walid, Hasan bin Nu’man sudah digantikan oleh Musa bin Nushair. Di zaman al-Walid itu, Musa bin Nushair memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Maroko. Selain itu, ia juga menyempurnakan penaklukan ke daerah-daerah bekas kekuasaan bangsa Barbar di pegunungan-pegunungan. Penaklukan atas wilayah Afrika Utara itu dari pertama kali dikalahkan sampai menjadi salah satu provinsi dari Khalifah Bani Umayah memakan waktu selama 53 tahun, yaitu mulai tahun 30 H (masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan) sampai tahun 83 H (masa al-Walid). Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, dikawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan kerajaan Romawi, yaitu kerajaan Gotik.
Dalam proses penaklukan Andalusia terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif bin Malik, Tharik bin Ziyad, dan Musa bin Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada diantara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang lima ratus orang di antaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya. Didorong oleh keberhasilan Tharif dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa bin Nushair pada tahun 711 M mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.
Thariq bin Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penaklukan Andalusia karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah al-Walid. Pasukan itu kemudian menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad. Sebuah gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Dalam pertempuran di Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan. Tidak sampai satu abad setelah kemenangan Islam, seluruh warga Andalusia menyatakan keislamannya.
Ilmuwan dan Ulama Andalusia
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Andalusia adalah Abu Bakr Muhammad bin al-Sayigh (Ibnu Bajjah). Tokoh utama yang kedua adalah Abu Bakr bin Thufail (Ibnu Thufail). Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Cordova.
Pada abad ke 12 diterjemahkan buku Al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicena) mengenai kedokteran. Diahir abad ke-13 diterjemahkan pula buku Al-Hawi karya Razi yang lebih luas dan lebih tebal dari Al-Qanun.
Abbas bin Fama termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ia orang yang pertama kali menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim bin Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahad bin Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umi al-Hasan binti Abi Ja’far dan saudara perempuan al-Hafidzh adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibnu Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibnu Bathuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudra Pasai dan Cina. Ibnu Khaldun (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tum adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Andalusia yang kemudian pindah ke Afrika.
Dalam bidang fikih, Andalusia dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini disana adalah Ziyad bin Abd al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibnu Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam bin Abdurrahman. Ahli-ahli fikih lainnya yaitu Abu Bakr bin al-Quthiyah, Munzir bin Sa’id al-Baluthi dan Ibnu Hazm yang terkenal.
Dalam bidang musik dan seni suara, Andalusia mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan bin Nafi yang dijuluki Zaryab. Setiap kali diadakan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai pengubah lagu. Ilmu yang dimilikinya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Diantara para ahli yang mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa yaitu Ibnu Sayyidih, Ibnu Malik pengarang Alfiyah, Ibnu Huruf, Ibnu Al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibnu Usfur, dan Abu Hayyan al-Gharnathi.
Kemegahan Bangunan di Andalusia
Orang-orang memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air waduk dibuat untuk konservasi. Pengaturan hydrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air asal Persia yang dinamakan na’urah (Spanyol Noria). Namun pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman, taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana al-Makmun, mesjid Seville dan istana al-Hamra di Granada.
Demikianlah sedikit ulasan tentang kejayaan, kemegahan dan kemewahan peradaban Islam di Andalusia. Selanjutnya kita akan memasuki tiga catatan penting sebab-sebab runtuhnya peradaban Islam di Andalusia.
Perpecahan Umat Islam pada Saat Itu
Umat Islam Andalusia tidak ada bedanya dengan umat Islam lainnya di seluruh penjuru dunia. Mereka satu akidah dengan kita, berpegang teguh pada madzhab Ahlussunnah Waljamaah. Oleh karenanya, ketika mereka sedang teraniaya, mereka meminta pertolongan kepada saudara-saudaranya sesama muslim, di belahan bumi lain, untuk membantu mereka. Di antara yang dimintai pertolongan adalah Kerajaan Islam di Maroko dan Kekhalifahan Utsmaniyah. Di antara isi surat yang mereka tuliskan kepada kedua kerajaan itu disebutkan sebagai berikut:
Salam sejahtera kami haturkan untuk yang mulia, dari seorang hamba yang tertindas di Andalusia, wilayah sebelah barat bumi Maroko.
Dengan dikelilingi oleh lautan Roma yang membentang luas dan lautan raya yang dalam dan pekat.
Salam sejahtera untuk semua, dari seorang hamba yang terluka akibat bencana berat yang menimpa.
Kami dikhianati dan ditindas, agama kami diubah dengan paksa, kami dianiaya dengan keji dan kejam.
Namun, kami tetap berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad Saw., melawan tentara salib berdasarkan satu niat.
Saat kami membina perjanjian perdamaian, mereka malah mengkhianati dan melanggarnya.
Bukan sekali mereka melanggar perjanjian, bahkan sebelumnya berkali-kali mereka mengingkari dan menindas kami dengan kekerasan dan penganiayaan.
Mereka membakar kitab suci umat Islam dan mencampakkannya ke tempat-tempat sampah sehingga berbaur dengan najis.
Kitab suci yang kami jadikan sandaran dalam setiap urusan, mereka campakkan dengan keji dan zalim.
Kami dipaksa mencaci Nabi, dan dilarang untuk menyebut namanya, baik pada saat senggang maupun tertindas.
Kalau ada satu orang atau satu kelompok orang yang melantunkan namanya, bahaya siksa dan azab mengancam mereka.
Nama-nama kami diubah dengan nama yang tidak kami senangi. Sayang seribu sayang, mereka mengubah agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. dengan agama anjing-anjing Romawi, makhluk terburuk di muka bumi.
Kami pun akan menjadi hamba sahaya yang tidak bertuan, menjadi umat Islam yang tidak bisa mengucapkan kalimat syahadatain.
Jika kedua bola mata insan menyaksikan, betapa kesulitan yang kami derita, ia akan mencurahkan hujan airmata.
Betapa pedih yang kami rasakan, menahan derita nestapa yang terus menyelimuti.
Dalam surat ini tampak bahwa mereka sangat membutuhkan sekali bantuan dari umat Islam lainnya. Mereka mengiba, menangis, dan 'mengemis' belas kasihan raja-raja Islam. Namun sayang beribu kali sayang, bantuan yang diharapkan tidak datang-datangturun-turun. Hal ini semakin membuat mereka terisolasi dan semakin lama menanggung beban penderitaan. Umat Islam di Andalusia diberikan tiga pilihan oleh kerajaan Kristen: Masuk Kristen, Keluar dari Andalusia, atau dibunuh! Jumlah mereka yang dibunuh mencapai puluhan ribu jiwa. Sebagian mereka ada yang murtad atau pura-pura murtad. Mereka yang murtad ini selalu diawasi oleh intelejen Kerajaan Kristen pada saat itu. Bila terbukti masih beragama Islam maka akan ditangkap dan dihukum. Apalagi mereka yang merencanakan pemberontakan, tak tanggung-tanggung akan dihukum mati! Digantung dan dikuliti kemudian di arak keliling kota sebagaimana yang terjadi pada diri para mujahidin pada saat itu.
Ketika membaca kalimat demi kalimat buku itu, yang penuh dengan kepiluan dan kesedihan, saya merasa heran bila saat itu sedikit sekali bantuan yang dapat umat Islam Andalusia terima. Di manakah kerajaan Islam Maroko yang notabene saat itu bersebelahan dengan umat Islam Andalusia? Di manakah kekhalifahan Utsmaniyah yang dengan gemilang berhasil menaklukan Konstantinopel? Sayang dalam buku itu tidak membahas mengapa Khalifah Utsmaniyah tidak turun membantu umat Islam Andalusia. Jadi pada kesempatan ini saya fokuskan saja pada Kerajaan Islam Maroko sebagai tetangga terdekat Andalusia.
Ternyata jawabannya sungguh mengejutkan: Raja Maroko ingin mencari aman saja. Karena bila mereka terlalu jauh terlibat dalam konflik yang terjadi di Andalusia, kekuasaan mereka akan terancam. Kerajaan Kristen akan menyerang mereka atau melakukan praktek adu domba sesama anggota keluarga kerajaan seperti yang terjadi di Andalusia. Intinya, kerajaan Kristen akan berupaya mempersulit keadaan kerajaan Islam Maroko. Akhirnya, mereka pun mengambil jarak terhadap umat Islam di Andalusia.
Kenyataan ini tampaknya juga diderita oleh pemimpin negara-negara Islam saat ini. Mereka tidak berani memberikan bantuan secara penuh, terutama militer, kepada umat Islam yang tertindas seperti di Palestina, Suriah, Afghanistan, Irak, dan Mindanao. Mereka lebih memilih mengamankan kekuasaan mereka. Memang sejarah telah mencatatkan para pemimpin yang membantu para mujahidin nasibnya sering berakhir tragis, seperti yang dialami Raja Faishal dari Arab Saudi dan Jenderal Zia Ul Haq dari Pakistan. Tapi itulah resiko perjuangan. Bila tidak ada pengorbanan tidak akan ada kemenangan. Para mujahid pasti sudah siap dengan kematian, karena kematian bisa menjadi jalan kemenangan bagi mereka.
Cinta Dunia dan Takut Mati
Awal abad ke 16 adalah titik nadir umat Islam Andalusia. Mereka sedang bersiap diri menghadapi keruntuhan, sebuah keruntuhan yang dicatat dalam sejarah. Sebuah keruntuhan yang mengundang kepiluan dan kesedihan yang mendalam. Selama delapan abad lamanya mereka berkuasa di Andalusia dan mendirikan sebuah peradaban yang besar; peradaban ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Peradaban yang mengantarkan mereka menjadi kerajaan paling digdaya di seantero dunia saat itu.
Bukanlah kekalahan dan kemenangan itu terjadi karena pihak luar, tetapi terjadi pada umat Islam itu sendiri, dengan izin Allah tentunya. Sebagaimana firman Allah Swt., "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga ia mengubahnya sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11)
Pada saat itu kerajaan Islam Andalusia sudah tercabik-cabik menjadi kerajaan-kerajaan kecil (di dalam buku ini tertulis menjadi 23 kerajaan kecil). Masing-masing anggota kerajaan ingin memiliki kekuasaan. Mereka saling tikam antara satu dengan yang lain. Raja atau sultan silih berganti berkuasa. Anak membunuh ayahnya, keponakan membunuh pamannya tampaknya sudah menjadi lumrah pada saat itu. Bahkan yang paling buruk adalah anggota kerajaan itu meminta tolong Raja-Raja Kristen untuk membantu mereka menyingkirkan orang-orang yang menurut mereka menghalangi ambisi mereka dalam meraih kekuasaan. Tentu saja setiap bantuan yang diberikan harus dengan imbalan yang memadai. Dan imbalan itu nyatanya sangat besar jumlahnya. Terus saja seperti ini kejadiannya. Dengan sendirinya Raja-Raja Kristen menjadi mudah mengadu domba atas sesama anggota kerajaan Islam Andalusia. Daerah kekuasaan Islam Andalusia sedikit demi sedikit digrogoti oleh Kerajaan Kristen.
Fakta lain, pasti ada saja muncul pahlawan-pahlawan yang menyerukan perang suci menghadapi kaum kufar. Mereka menyerukan kepada kaum muslimin Andalusia untuk bangkit menghadapi pasukan Kristen. Ada saatnya mereka menang, tapi seringkali mereka kalah. Hal ini terjadi karena kurangnya dukungan pihak kerajaan terhadap aksi mereka. Mereka berjuang secara sporadis dengan jumlah personel terbatas walaupun sangat mematikan. Salah satu di antara para pahlawan itu adalah Jenderal Musa bin Abi Ghassan. Kata-katanya yang paling terkenal, "Mati syahid di bawah reruntuhan pagar Granada lebih mulia daripada hidup di bawah penindasan." Tetapi suara yang mendominasi saat itu menghendaki Granada diserahkan kepada musuh. Tetapi Musa bin Abi Ghassan tidak setuju. Ia berteriak dan berkata, "Kita lebih baik menyebutkan siapa-siapa saja yang menghendaki perjuangan mempertahankan Granada dan siapa yang menghendaki penyerahannya ke tangan musuh." Namun sayang, tidak ada seorang pun yang mendengarkan dan mendukungnya.
Akhirnya, dia pergi meninggalkan majelis kerajaan dan menunggang kudanya meninggalkan Granada yang merupakan benteng paling utama dari Kerajaan Islam Andalusia. Hingga suatu saat dia bertemu dengan sekelompok pasukan Kristen, ia langsung menyerang dengan ganas menggunakan pisau dan pedangnya. Namun, tentara musuh semakin banyak yang mengepungnya. Dan ketika hendak ditawan, ia mengambil inisiatif untuk menyeburkan dirinya ke dalam laut.
Sementara itu, Raja Abu Abdillah bersegera menyerahkan Granada ke kerajaan Kristen Spanyol. Salah satu dari dua orang yang menjadi negosiator penyerahan Granada ke tangan kerajaan Kristen adalah Ibnu Kamasyah, seorang menteri yang murtad. Ia memeluk agama Kristen setelah penyerahan, bahkan menjadi seorang pendeta besar.
Bukan hanya menteri yang murtad, banyak dari keluarga kerajaan dan pemuka kaum yang murtad. Mereka memeluk Kristen setelah Granada diserahkan kepada Kerajaan Kristen, antara lain: Dua orang pangeran, yakni Sa'ad dan Nasr bin Sultan Abil Hasan, ibunya yang bernama Mahma, Pangeran Yahya An-Niyar, anak paman Raja Abu Abdillah bin Zaghl dan Panglima Mariya bersama anak dan istrinya. Nama-nama mereka diganti dengan nama-nama Kristen.
Demikianlah Andalusia tenggelam karena ruh Islam yang ada dalam jiwa mengalami kematian, sehingga kerusakan pun merajalela. Hal itu diperburuk dengan pengkhianatan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang muslim.
Memudarnya Peran Ulama
Lantas, di manakah para ulamanya? Buku ini tidak membahasnya secara khusus kecuali sepintas saja. Padahal poin ini sangat penting untuk dibahas karena para ulama pada hakikatnya memiliki pengaruh yang kuat di tengah masyarakat. Dengan resolusi jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy'ari contohnya, memotivasi umat Islam di Indonesia untuk melawan penjajahan. Tapi setidaknya saya mendapatkan gambaran secara umum dari buku ini. Yaitu betapa lemahnya peran dan pengaruh ulama pada saat itu. Karena faktanya majelis kerajaan juga diisi oleh ulama, misalnya di dalamnya ada seorang Qadhi atau Mufti. Tapi mengapa mereka seolah diam, bahkan larut dalam pemikiran Raja yang penuh kelemahan, cinta dunia dan takut mati?
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari peradaban Islam di Andalusia? Pertama, keadaan umat Islam saat ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan keadaan umat Islam di Andalusia pada saat itu. Jadi, janganlah berputus asa! Harapan atas kebangkitan itu selalu ada. Kedua, persatuan, tarbiyah, dan kaderisasi ulama harus menjadi perhatian serius bagi umat yang ingin meraih kejayaannya kembali. Ketiganya adalah kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Ketiganya adalah pilar-pilar bagi kebangkitan umat Islam. Ketiga, kebangkitan dan keruntuhan adalah bagian dari Sunnatullah. Allah pergilirkan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki. Kebangkitan setelah keruntuhan bukanlah mustahil terjadi. Umat Islam dapat memetik pelajaran berharga dari peristiwa keruntuhan Andalusia agar dapat meraih kejayaan di masa yang akan datang.
untuk menjaga amanat ilmiah kalau bisa disertakan daftar rujukan disetiap artikelnya. selain untuk menjaga keotentikan juga mempermudah bagi siapa saja yang ingin membuat karya ilmiah.
BalasHapusTqvm dgn perkongsian ini
BalasHapusIslam yang terbaik
BalasHapus