Ketika Nikmat Berbicara
Allah Maha Pengasih. Sekalipun kita durhaka kepada-Nya, tetap saja Allah memberi kita banyak kenikmatan. Namun, Allah tidak memberi iman kepada hamba-hamba-Nya yang durhaka. Mari kita merenungkan hal ini. Apakah kita akan menjual iman dengan harga yang murah, padahal harga iman itu setara dengan surga?
Kita menjadi makhluk-Nya yang kufur setelah kita melalui kenikmatan itu tanpa berterima kasih kepada-Nya. Jika kita berterima kasih kepada orang yang memberikan bantuan kepada kita, sesungguhnya Allah-lah yang lebih berhak dan lebih banyak kita haturkan terima kasih. Karena kenikmatan yang Dia berikan tiada terhitung jumlahnya. Mulai dari udara yang kita hirup, mata yang berkedip, hingga kita dapat mengeluarkan kotoran dari anus kita. Semua itu kenikmatan yang tiada ternilai harganya. Jika engkau mengucapkan kata “Alhamdulillah” ketika memperoleh kenikmatan, itu sudah cukup bagi Allah, tapi jika dibandingkan nikmat pemberian-Nya, maka ucapan itu tidaklah sebanding.
Pada hakikatnya, rasa syukur kita bukan untuk Allah, melainkan untuk diri kita sendiri. Kekuasaan Allah tidak akan bertambah dengan banyaknya orang yang bersyukur dan tidak akan berkurang dengan banyaknya orang yang kufur. Begitupun dengan perintah-perintah Allah yang harus kita jalani dalam kehidupan ini, semuanya adalah untuk diri kita sendiri. Bukankah jika kita bersyukur, Allah akan menambahkan kenikmatan kepada kita? Dan bukankah jika kita kufur, Allah akan menyiksa kita?
Begitu tingginya kedudukan syukur, sehingga banyak ulama yang mengatakan bahwa syukur adalah separuh dari iman. Mengapa? Karena syukur adalah pintu gerbang untuk mengenal Allah dan mengenal diri kita sendiri. Ketika kita mengucapkan “Alhamdulillah“, sesungguhnya kita sedang mengatakan bahwa seluruh pujian hanyalah milik Allah – Tuhan semesta alam. Ketika kita memperlihatkan kenikmatan yang diberikan-Nya, sesungguhnya kita sedang mengatakan – dengan bahasa tubuh kita – bahwa semua itu berasal dari-Nya, bukan dari usaha kita sendiri. Jika Allah menghendaki kehinaan pada diri seseorang, maka tak akan ada orang yang sanggup membuatnya mulia. Kehinaan tetap melekat padanya seumur hidupnya.
Sahabatku, agar lebih tajam lagi bahasan kita ini, mari kita renungkan enam kenikmatan besar berikut ini, dan semoga kita dapat menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur setelah mengetahuinya.
Nikmat iman dan Islam
Inilah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Inilah nikmat yang mengantarkan seseorang ke surga-Nya – puncak kebahagiaan dan keabadian. Kita bersyukur telah dilahirkan sebagai seorang muslim, sementara masih banyak orang di luar sana tersesat jalan hidupnya. Kita juga dengan sangat mudah mengerjakan shalat atau menggenakan jilbab di depan keluarga kita, karena keluarga kita muslim. Sementara ada orang yang berusaha menyembunyikan keislamannya karena bila ketahuan, ia akan dihukum, disiksa, dan dikucilkan oleh keluarganya yang masih dalam kekafiran.
Karena keimananlah, Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup oleh Namrudz, Nabi Yahya digergaji tubuhnya hingga mati syahid, Nabi Yusuf rela tidak mendapatkan kenikmatan bersetubuh dengan wanita secantik Zulaikha, Nabi Muhammad dihina dan dicaci maki oleh pamannya sendiri, Bilal rela tubuhnya dihimpit batu besar ditengah sahara, Sumayyah dan Yasir syahid dengan penuh luka disekujur tubuhnya, dan Ammar – anaknya – menangis sejadi-jadinya melihat kondisi kedua orangtuanya tersebut.
Karena keimananlah, Ibnu Taimiyah dipenjara hingga wafat, Hasan al-Banna mati syahid diterjang peluru durjana, Sayyid Quthb digantung oleh thagut, Abdullah Azzam dan putranya mati syahid dalam sebuah ledakan besar yang dilakukan musuh-musuh Allah, Syaikh Ahmad Yasin tak pernah berhenti berjuang walau separuh tubuhnya lumpuh. Dimanakah kita berada saat mereka mengikrarkan kalimat iman dan Islam dalam perjuangan mereka? Dimanakah kita berada saat ruh, jiwa, dan tubuh mereka bersimbah darah?
Subhanallah, sudah seharusnya kita menjadi bagian dari mereka. Airmata ini sudah selayaknya bercucuran ketika mengenang perjuangan mereka. Sahabatku, janganlah engkau gadaikan keimananmu dengan harga yang murah, yaitu menjadi murtad dan membelakangi para mujahid. Istiqomahlah dan berpegang teguhlah! Islam ibarat intan berlian, dilihat dari sisi manapun tetap memancarkan kemilau. Islam adalah kebenaran yang nyata, tak terbantahkan!
Nikmat sehat
Ada yang sakit hingga tubuhnya rebah dipembaringan; ada yang lumpuh hingga tak dapat menggerakkan salah satu anggota tubuhnya; ada yang bisu hingga tak dapat berbicara; ada yang buta hingga tak dapat melihat; ada yang kaki dan tangannya diamputasi karena sebuah kecelakaan; ada yang tidak bisa membuang kotoran dalam tubuhnya; bahkan ada yang tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa berbaring menunggu ajal!
Lebih dari yang kita rasakan ketika kita sakit, sakit kita tak seberapa tapi kita banyak mengeluh; pusing sedikit, mengeluh; panas sedikit, mengeluh; uang sedikit, mengeluh; apakah kita hanya bisa mengeluh? Bukankah masih banyak saudara-saudara kita yang lebih parah dari kita? Lebih miskin dari kita? Tapi mereka toh tidak mengeluh!
Para mujahid Palestina, Irak, dan Afghanistan, serta mujahid dibelahan bumi manapun, sesungguhnya kami malu pada kalian. Setiap hari ada saja luka menganga akibat terjangan peluru atau pecahan bom, tapi kalian tetap bersabar. Hari-hari kalian begitu mencekam dan dilalui dengan huru-hara peperangan, tetapi wajah kalian tetap memancarkan keceriaan. Karena kalian memiliki iman yang lurus, maka kalian menjadi orang yang tidak pernah menyerah.
Nikmat harta
Orang-orang kaya belum tentu bahagia, demikian kata Donald Trump, pengusaha terkenal AS. Buktinya, dia merasa tidak bahagia dan ada orang yang miskin namun tetap bahagia. Engkau lihat, para petani begitu asyik dengan lauk pauk yang dihidangkan istrinya ditengah hamparan sawah dan ladang. Namun, engkau lihat orang kaya yang dilarang makan ini dan itu oleh dokternya karena suatu penyakit yang kronis, atau tak berselera dengan segala bentuk hidangan menggiurkan karena stres.
Harta yang sedikit tapi dapat dinikmati dengan sepenuh jiwa, lebih baik daripada banyak tapi hanya menambah penyakit jiwa.
Jika Allah memberi kita banyak harta, itu adalah kenikmatan yang seluruhnya berasal dari-Nya, bukan dari hasil usaha kita. Janganlah kita seperti Qarun yang mengatakan bahwa harta yang ia peroleh sepenuhnya berasal dari usahanya sendiri, bukan dari pemberian Allah. Cara bersyukur kita adalah dengan memberikan sebagiannya untuk zakat dan sedekah. Dengannya kenikmatan itu akan bertambah, bukan hanya bertambahnya harta, tapi yang lebih penting adalah bertambahnya pahala, keberkahan, dan keimanan.
Nikmat ilmu
Allah akan mempermudah jalan ke surga bagi muslim yang menuntut ilmu. Kenikmatan menuntut ilmu terlihat dari konsistensi dalam menuntut ilmu dan aktivitas amal shaleh yang kerap kita lakukan. Begitu asyiknya membaca hingga kita banyak mendapatkan pengetahuan dan pencerahan. Selepas membaca buku ini, kita membaca buku yang lain, begitulah seterusnya; kita tenggelam dalam lautan buku. Jika kita tenggelam di tengah lautan, kita akan mati. Tapi tidak jika kita tenggelam dalam lautan buku, kita akan bertambah haus dan rasa keingintahuan kita semakin bertambah.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak membaca dapat memberikan kesehatan pada tubuh kita, salah satunya terhindar dari kepikunan (dimensia). Engkau dapat mengetahuinya dari para ulama yang tetap produktif menulis dan berkarya walau usianya sudah sepuh. Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam usianya yang ke 84, tetap aktif berkarya dan menulis. Pada usianya yang ke 84 tahun itu mampu menghasilkan karya monumental: FIKIH JIHAD! Bandingkan dengan orang-orang yang seusia dengannya namun otaknya sudah “beku” dan hanya bisa merepotkan orang lain saja.
Jika kita mendapatkan nikmat ilmu, berbahagialah dan bersyukurlah, karena – kata Imam Ibnu al-Jauzy – tidak ada kenikmatan inderawi yang lebih besar daripada kenikmatan dalam menuntut ilmu.
Nikmat ibadah
Selepas shalat fardhu, doa dan dzikir dilafadzkan, lalu shalat sunat dikerjakan, dengan hati yang khusyu dan syahdu. Jiwa dan raga ini berpaut menjadi satu memeluk kehangatan ibadah kepada-Nya. Jika demikian, tiada yang dapat menghalanginya beribadah meskipun kesenangan-kesenangan duniawi di depan mata.
Selepas berbuka dengan beberapa butir kurma, ada hidangan begitu menggiurkan di atas meja. Air liur pun bisa saja turun membasahi kerongkongan. Tapi bagi orang yang merasakan nikmatnya ibadah, panggilan Allah untuk shalat jauh lebih menggiurkan baginya. Begitulah ciri khas orang yang merasakan nikmatnya ibadah. Dia merasakan jika tidak beribadah, seolah-olah seluruh tubuhnya lumpuh dan jiwanya mati rasa.
Nikmat waktu
Detik demi detik berlalu. Jam demi jam berlalu hingga kita mati! Kita pasti mati, tapi kini kita masih hidup! Oh waktu, sudah berlalu sekian lamanya. Yang lalu tak mungkin kembali lagi. Yang akan datang masih dalam angan-angan. Sudah banyak waktu yang terbuang percuma, tapi tetap kita merasa aman-aman saja. Bukankah disana ada seribu pedang yang siap menyayat-nyayat tubuh?
Motivator terkenal, John C. Maxwell, dalam bukunya mengutip sebuah penelitian yang menyebutkan tentang bagaimana rata-rata orang Amerika yang mencapai usia 72 tahun menggunakan waktu mereka:
21 tahun untuk tidur
14 tahun untuk bekerja
7 tahun untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan
6 tahun untuk makan
6 tahun untuk melakukan perjalanan
5 tahun untuk menunggu giliran
4 tahun untuk belajar
3 tahun untuk menghadiri pertemuan
2 tahun untuk menjawab telepon
1 tahun untuk mencari barang-barang yang hilang
3 tahun untuk kegiatan-kegiatan lainnya
Selanjutnya beliau mengatakan, “Bila kita menargetkan untuk mencapai keberhasilan selama masa kerja kita berarti kita hanya punya waktu yang singkat untuk melakukannya, yakni kurang dari seperlima dari seluruh waktu yang kita miliki.”
Nikmat waktu ini adalah nikmat yang berharga dalam hidup kita. Itu artinya, masih ada waktu untuk bertaubat, beribadah, menuntut ilmu, dan mengerjakan amal-amal shaleh lainnya.
Demikianlah nikmat, begitu banyaknya melekat pada diri kita dan kehidupan kita, membuat Allah menegur kita secara berulang-ulang – dengan nada bertanya – dalam surat ar-Rahman: “Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan“. Ketika Rasulullah dihina oleh orang-orang kafir dengan sebutan “batara“, yang artinya keturunannya terputus karena anak laki-laki beliau semuanya mati. Lalu Allah menurunkan ayat yang berbunyi: “Inna a’thaina kal kautsar - sesungguhnya Allah telah memberimu kenikmatan yang banyak,” sebagai hiburan kepada Rasulullah Saw.. Dan jika memang demikian adanya, mengapa kita mesti bersedih dengan hilangnya satu nikmat? Bukankah Allah telah banyak memberi kita kenikmatan yang lain, yang jauh lebih besar dari kenikmatan yang hilang itu?
Komentar
Posting Komentar