Peran Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari dalam Perjuangan Bangsa

Nama Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari kembali berkibar saat ini. Banyak kalangan Nahdhiyin memandang perlunya NU kembali ke khittah NU semula sebagaimana yang telah digariskan pendirinya, KH. Hasyim Asy'ari. Setelah sebelumnya beberapa kalangan mensinyalir penyimpangan yang terjadi pada beberapa tokoh dan pengikutnya. Keadaan inilah yang membuat saya penasaran untuk membaca sejarah KH. Hasyim Asy'ari. Walaupun secara kultur saya dibesarkan dibesarkan dalam lingkungan keluarga nahdhiyin, dalam hal ini bermazhab Syafi'iyah, tapi jujur saja saya kurang begitu mengenal siapa itu KH. Hasyim Asy'ari kecuali nama dan kedudukannya sebagai pendiri dan ketua NU. Itu saja. Pelajaran di sekolah dari yang saya ketahui kurang mengangkat sejarah tokoh umat. Sehingga hal ini, mengangkat kembali sejarah tokoh-tokoh umat, adalah PR kita bersama, sebagai salah satu syiar dan kecintaan kita kepada para ulamanya.



Saya membaca-baca buku-buku sejarah Indonesia yang saya miliki. Lalu saya membaca beberapa tulisan tentang KH. Hasyim Asy'ari. Melalui buku-buku dan tulisan-tulisan itu, membantu saya menemukan garis besar perjuangan KH. Hasyim Asy'ari. Maka saya pun menyimpulkan, bahwa beliau adalah seorang ulama yang Allamah. Beliau berguru pada banyak guru, dari Indonesia hingga tanah Arab. Di Indonesia guru-guru beliau adalah ulama-ulama besar yang sudah masyhur terdengar. Begitupun ketika beliau menuntut ilmu di tanah Arab. Beliau berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, seorang ulama besar asal Indonesia yang bermukim di Makkah dan menjadi mufti madzhab Syafi'iyah. Syaikh Ahmad Khatib adalah seorang ahli ilmu-ilmu syariah dan penyeru umat kepada pemurnian syariah yang bersemangat. Guru beliau yang lain adalah Syaikh Mahmud Termas, seorang ulama besar ahli hadits yang juga berasal dari Indonesia. Syaikh Mahmud adalah perawi hadits Shahih Bukhari generasi ke 23. KH. Hasyim pun memperoleh ijazah dari Syaikh Mahmud untuk mengajarkan hadits Shahih Bukhari. Dengan kata lain, KH. Hasyim adalah generasi ke 24 perawi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Fakta ini menunjukkan keilmuwan beliau dibidang ilmu agama tidak diragukan lagi. Beliau memiliki pandangan yang lurus (bukan nyeleneh) terhadap pelaksanaan nilai-nilai keislaman.

Kedua, KH. Hasyim Asy'ari adalah seorang ulama umat; bukan hanya milik warga NU saja, tapi sejatinya tokoh umat yang juga disegani dan dihormati oleh umat Islam diluar organisasi NU. Beliau tidak hanya menjadi Rois Akbar (Ketua Majelis Syuro) NU, tetapi juga Rois MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), lalu MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dan kemudian setelah kemerdekaan menjadi Partai MASYUMI hingga beliau wafat. Di dalam organisasi MIAI dan Partai MASYUMI tertampung berbagai elemen dan organisasi umat Islam Indonesia, mulai dari NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, PSII, dsb. Kedudukan beliau sebagai ketua Majelis Syuro menunjukkan betapa besar pengaruh beliau bagi umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu bisa dikatakan jika beliau adalah Bapak Umat Islam Indonesia di Abad ke-20.

Ketiga, KH. Hasyim Asy'ari adalah seorang ulama mujahid. Kiprah beliau dalam perjuangan bangsa, terutama dalam merebut kemerdekaan, sangat besar. Di akhir masa penjajahan Jepang, beliau membentuk laskar perjuangan Hisbullah, Sabilillah, dan Mujahidin. Beberapa saat setelah kedatangan tentara sekutu di bawah Brigadir Jenderal Mallaby di Surabaya, beliau bersama dengan ulama lainnya, mengadakan musyawarah kilat di Bubutan, Surabaya, 21-22 Oktober 1945. Musyawarah tersebut memutuskan kewajiban umat Islam untuk membela kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dengan hukum fardhu ain. Keputusan ini kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Dengan resolusi jihad itu para santri dan umat Islam pada umumnya terpanggil untuk berjuang membela kemerdekaan bangsa dan negara. Mengenai betapa hebatnya semangat jihad beliau, di dalam buku Ensiklopedia Ulama Nusantara di halaman 382 tertulis sebagai berikut: "Dengan jiwa dan semangat perjuangan yang tinggi ini, maka setelah Hadratus Syeikh mendapatkan berita bahwa kota Malang yang merupakan basis Hisbullah-Sabilillah, jatuh ke tangan Belanda, beliau pingsan dan jatuh sakit. Utusan Bung Tomo dan Jenderal Sudirman tidak bisa menemuinya karena ulama besar ini sudah tidak sadarkan diri dan dua hari kemudian beliau wafat menghadap Allah Swt, tepatnya tanggal 25 Juli 1947..."

Betapa saya merindukan kehadiran sosok ulama seperti Hadratus Syeikh. Sosok yang membumi, alim, tawadhu, mujahid, dan mampu mengayomi umat. Tidaklah mengherankan bila warga NU menjuluki beliau Hadratus Syeikh yang berarti maha guru dan kedudukan beliau di jam'iyah sebagai Rois Akbar tidak tergantikan sesudahnya. Memang beliau pantas untuk mendapatkan julukan tersebut. Kyai Haji Hasyim Asy'ari rahimahullah


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manfaat Mempelajari Tafsir Alquran

Akibat Berbuat Zalim

Tiga Sebab Keruntuhan Peradaban Islam di Andalusia

Mengapa Banyak Orang Barat Menjadi Ateis?