Bencana Kabut Asap, Siapa yang Peduli?

Bencana kabut asap menimpa saudara-saudara kita di Sumatera dan Kalimantan. Dan efeknya tidak hanya pada wilayah tersebut. Provinsi lain dan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand juga terkena dampaknya. Sudah berbulan-bulan bencana ini belum juga berhenti sementara korban terus berjatuhan.

Bencana Kabut Asap Bukan Bencana Nasional?
Ada yang mengatakan bencana ini bukan bencana nasional karena kebakaran dan asap merupakan hasil perilaku manusia yang serakah dan sengaja membakar hutan dan lahan. Tapi mengapa kebakaran hutan di tahun 1997, yang jauh lebih parah daripada tahun 2015 tidak dipermasalahkan? Padahal kebakarannya mencapai 9,7 juta hektar dibanding saat ini yang hanya 1,7 juta hektar sebagaimana dikatakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kalau begitu mengapa dampak kebakaran hutan saat ini jauh lebih luas? Menurut BNPB hal itu terjadi karena pengaruh El Nino yang panjang (1).

Jadi, jika ditafsirkan bencana kabut asap bukan bencana nasional karena faktor manusia atau terkait masalah hukum, bisa jadi salah. Tapi sudahlah. Fokus saya bukan disitu. Yang menjadi perhatian saya adalah alasan belum ditetapkannya status bencana nasional karena terkait jumlah korban dan kerugian ekonomi. Hal ini diakui oleh Kabareskrim Komjen Anang Iskandar dan Kepala BNPB William Rampangilei, bahwa penegakan hukum tidak terpengaruh status bencana itu sendiri (2).

Bencana asap telah menyebabkan 503.874 jiwa sakit ISPA di 6 provinsi sejak 1 Juli hingga 23 Oktober 2015. Jumlah masing-masing provinsi adalah 80.263 di Riau, 129.229 di Jambi, 101.333 di Sumsel, 43.477 di Kalbar, 52.142 di Kalteng dan 97.430 di Kalsel (3). Dampak kabut asap diperkirakan capai Rp 200 trilliun (4).

Simpati dan Empati untuk Korban Kabut Asap
Angka-angka di atas sangat besar. Bila Gubernur SUMSEL mengatakan bahwa bencana kabut asap bukan hanya sekedar bencana nasional tetapi bencana internasional, ada benarnya juga. Berpegang pada dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah tentang persaudaraan sesama muslim, keutamaan menolong sesama muslim maupun kepada manusia pada umumnya, maka setiap muslim hendaknya peduli untuk mengulurkan pertolongan kepada saudara-saudaranya yang tertimpa bencana kabut asap. Tidak ada istilah bencana tersebut hanya urusan orang Sumatera atau orang Kalimantan saja. Kepedulian bisa diberikan oleh kaum muslimin diluar wilayah tersebut, bahkan hingga mancanegara. Saya pernah membaca berita ada rakyat Palestina yang turut memberikan bantuan kepada korban bencana asap ini. Fakta ini menunjukkan bahwa persaudaraan antar sesama muslim melewati batas-batas teritorial sebuah negara. Seperti kata Erdogan, di mana azan berkumandang, disanalah tanah air Islam.

Kurang cepatnya penanganan bencana kabut asap ini, menurut saya, terkait erat dengan lemahnya kepemimpinan nasional. Kebijakan-kebijakan yang diambil menunjukkan kelemahan itu. Semua orang bisa saja melihat data-data, tapi untuk "merasa" tidak semua orang bisa mendapatkannya. Merasakan kesedihan orangtua yang bayinya wafat karena menjadi korban terpapar asap; merasakan betapa tidak nyamannya hidup dengan asap dimana-mana; merasakan mereka yang terkena asma atau infeksi saluran pernafasan. Seperti kurang simpatiknya perkataan MENKES yang mengatakan, Pencemaran asap (di Riau) saat ini belum pada taraf sangat berbahaya (5).

Pemerintah Amerika, misalnya, untuk menyelamatkan satu orang sandera saja menerjunkan ratusan tentara untuk membebaskannya. Harga satu orang begitu mahal dan berarti. Tapi di negeri ini, harga satu orang begitu murah! Menunggu korban berjatuhan agar bisa dikategorikan bencana nasional, sungguh memprihatinkan.

Bencana Alam Jangan Dijadikan Ajang Pencitraan
Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) Jajat Nurjaman mengatakan, keengganan pemerintah untuk menaikan status bencana asap sebagai bencana nasional mengisyaratkan jika Jokowi masih ingin membuktikan diri akan kemampuannya mengatasi masalah asap, meskipun pada akhirnya menerima bantuan asing yang sebelumnya telah ditolak! (6)

“Intinya begini, sebenarnya pemerintah sama sekali tidak menutup diri terhadap bantuan, tetapi bantuan itu pemerintah tidak mau kemudian diklaim. Bahwa ini kan pemerintah sedang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan, termasuk statusnya, jangan sampai kemudian ini diklaim karena mereka (negara lain),” demikian Seskab Pramono Anung menjelaskan terkait pemerintah mau menerima bantuan asing (7).

Saya tanggapi, mengapa tidak dari dulu saja pak pemerintah mau menerima bantuan asing? Apakah itu berarti pemerintah salah prediksi, misalnya pernyataan Jokowi yang menyebutkan kabut asap dapat diatasi dalam waktu dua minggu? Lalu setelah pemerintah tidak berhasil, baru kemudian meminta bantuan asing dengan SYARAT: keberhasilan dalam mengatasi kabut asap jangan diklaim sebagai keberhasilan pihak asing yang membantu. Keberhasilan itu semata-mata adalah keberhasilan pemerintah. Itulah yang diinginkan pemerintah saat ini.

Duh, rakyat kok dijadikan barang mainan!

Coba bandingkan dengan merajalelanya tenaga kerja Cina di Indonesia. Di mana harga diri bangsa sementara warganya sendiri disingkirkan! Sementara untuk korban bencana, pemerintah merasa harus punya harga diri!

Wahai Pendukung Jokowi, Kalian Jangan Hanya Sibuk Di Medsos Membela Tuan Kalian, Berlomba-Lombalah dalam Kebaikan!
PKS yang selama ini sering mendapat semprot oleh para pendukung Jokowi karena kerjaannya tukang kritik pemerintah, ternyata malah menjadi kelompok yang terdepan dalam penyelasaian kasus bencana kabut asap ini. PKS sudah meluncurkan Gerakan Nasional Tanggap Asap (Genta PKS) demi membantu menanggulangi dampak bencana asap di Indonesia dengan berbagai aksi kemanusiaannya, seperti pembagian masker, pendirian posko-posko bencana, pemberian bahan makanan pokok, dan fraksi PKS menyumbangkan Rp 685 juta yang berasal dari kenaikan tunjangan anggota dewan (8).

Saya menasehati untuk saudara-saudara saya yang telah memilih Jokowi sebagai Presiden RI, hendaknya kalian jangan melepas Jokowi begitu saja tanpa memiliki tanggung jawab moril untuk membantunya agar dapat menyelesaikan masalah bencana ini dengan sebaik-baiknya. Jangan orang-orang yang kritis kepada Jokowi mendahului kalian dalam berbuat kebaikan ini. Karena kalian terlalu berpanjang lebar membahas pembelaan kalian terhadap Jokowi. Padahal pembelaan itu tidak akan menyelesaikan masalah yang ada, tidak akan membantu korban-korban yang sudah berjatuhan, dan tidak akan bermanfaat apa-apa selain membuat orang yang kalian bela itu semakin kurang peduli terhadap bencana ini! Buktikanlah kepada rakyat bahwa kalian adalah orang yang benar dan orang yang kalian bela juga orang yang benar. Berlomba-lombalah dalam kebaikan!

Sumber:


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari dalam Perjuangan Bangsa

Manfaat Mempelajari Tafsir Alquran

Akibat Berbuat Zalim

Tiga Sebab Keruntuhan Peradaban Islam di Andalusia

Mengapa Banyak Orang Barat Menjadi Ateis?