Dimana Letak Kejahilan Orang-Orang yang Tidak Beragama?


Apa perbedaan orang yang tidak beragama dengan orang yang beragama? 

Orang yang tidak beragama mendasari keyakinannya pada pikiran manusia, baik diambil dari dirinya maupun dari orang lain. Bila mereka mengutip suatu pendapat dari orang lain maka yang mereka kutip adalah pendapat tokoh-tokoh pemikir seperti psikolog, sosiolog, ekonom, fisikawan, kimiawan, dan sebagainya. Mereka menjadikan pendapat-pendapat itu sebagai syariat dan petunjuk jalan hidup mereka. 

Sedangkan orang yang beragama (baca: Islam), mendasari keyakinannya pada ayat-ayat suci Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka menjadikan keduanya sebagai syariat dan petunjuk jalan hidup. Bilapun mereka mengutip pendapat atau pemikiran manusia, maka yang dipilih adalah yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah. 

Apa dampak dari dua pemikiran di atas? 

Orang yang tidak beragama pada hakikatnya sedang mendirikan agama baru, yaitu 'agama' yang sesuai dengan keinginan mereka, sesuai dengan hawa nafsu mereka. Agama yang diperoleh dari hasil pemikiran dirinya sendiri dan dikutip dari pendapat tokoh-tokoh yang sesuai dengan keinginan hawa nafsunya sendiri walaupun mereka mengatakan tidak sedang beragama. Maksudnya tidak beragama Islam atau agama-agama yang sudah mapan lainnya. Tidaklah mengherankan bila ada di antara mereka yang mengatakan, "Saya percaya Tuhan tapi tidak percaya pada agama." Maksudnya, "Saya percaya Tuhan tapi tidak percaya pada Al Quran dan As Sunnah sebagai syariat dan petunjuk jalan hidup." Mereka punya tata cara untuk 'mendekatkan' diri pada Tuhan seperti bermeditasi atau menciptakan suatu bentuk tata cara spiritualitas.

Dampak dari pemikiran di atas, mereka tidak punya pegangan yang jelas dan kuat tentang apa yang mereka yakini kebenarannya. Karena pemikiran manusia sering sekali berubah-ubah. Sekarang A besok bila ditemukan sesuatu yang menurut mereka benar secara ilmiah maka dipilihlah B. Bisa saja nanti kembali pada pilihan A. Begitu seterusnya tidak berkesudahan. 'Nabi-Nabi' mereka adalah orang-orang seperti Frederich Nietszhe, Karl Marx, atau Charles Darwin.

Sedangkan orang yang beragama, pemikirannya tampak mudah dan sederhana namun memiliki pegangan yang kuat dan kokoh serta tidak berubah-ubah. Keyakinan seperti ini sudah teruji oleh waktu, sebagaimana telah diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, sejak dari Nabi Adam hingga pada Nabi Muhammad. Para Nabi dan Rasul itu adalah orang-orang yang paling dekat dengan Tuhan karena Tuhan sendirilah yang mengajari mereka syariat untuk mendekatkan diri kepada-Nya. 

Tampak sekali jalan lurus itu pendek dan singkat. Begitu mudah dan sederhana. Tapi ternyata yang sulit dan rumit lebih disukai orang yang tidak beragama. Sehingga, jalan yang mereka lalui pun menjadi sulit.

Bisa saja kita menemukan pengakuan orang-orang yang tidak bahagia tentang betapa bahagianya hidup mereka berdasarkan apa yang mereka yakini. Tapi bacalah riwayat hidup 'Nabi-Nabi' mereka. Kehidupan mereka sama sekali tidak bahagia. Nietszhe mati dalam keadaan gila di rumah sakit jiwa. Sedangkan Karl Marx mati dalam keadaan depresi. Bandingkan dengan hidup Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang penuh dengan kebahagiaan dan ketenangan hingga akhir hayat. Bukankah yang mereka (orang-orang yang tidak beragama) cari adalah kebahagiaan hidup di dunia?

Mari kita tadaburi salah satu ayat berikut ini:
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Yang dimaksud dengan melampaui batas adalah berbuat dosa yang begitu banyak. Saking banyaknya, seolah-olah mereka menganggap bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa itu. Lalu, Allah pun memberikan harapan kepada mereka: Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Selagi nyawa dikandung badan dan selagi Anda mau bertaubat, Allah masih bersedia mengampuni dosa-dosa Anda itu walaupun dosa-dosa itu sebanyak buih dilautan, pasir di pantai atau bintang-bintang dilangit. Karena, Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maka tampaklah fajar yang menyingsing menghadirkan pahala dan berlalulah malam yang mengusung bala. Tatkala matahari pahala mulai menyingsing, ia telah sampai pada tujuan dengan selamat, melewati segala bencana dengan penuh kesabaran.

Bukankah nilai-nilai spiritual ini adalah nilai-nilai yang mulia, yang lebih tinggi daripada nilai-nilai manapun? Tapi, mengapa mereka meremehkannya, menjauh darinya, bahkan mengatakan tidak beriman kepadanya? Bukankah hal ini berarti mereka menganggap diri mereka lebih hebat daripada Tuhan? Mereka menganggap bahwa mereka mampu membuat konsep yang lebih hebat daripada konsep Tuhan. Padahal yang ada, mereka hanya menunjukkan kebodohan mereka sendiri, sadar ataupun tidak mereka sadari.

Itulah mengapa Imam Al Ghazali dalam bukunya yang berjudul "al kimya as sa'adah" (kimia kebahagiaan) berkata tentang mereka, "Dan karena manusia bukan hakim yang terbaik dalam kasusnya sendiri, maka untuk menetapkan batasan-batasan apa yang harus dikenakan itu sebaiknya ia konsultasikan masalah tersebut kepada pembimbing-pembimbing ruhaniah. Pembimbing-pembimbing ruhaniah seperti itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam persoalan-persoalan ini. Orang yang melanggar batas-batas ini berarti "telah menganiaya dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di dalam Al Quran. Meskipun pernyataan Al Quran ini telah jelas, masih ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batas-batas tersebut."

Jadilah mereka orang yang tersesat hidupnya di dunia dan celaka hidupnya di akhirat.Naudzubillahi mindzalik.

Komentar

  1. semoga para kaum muslimin n muslimat kita kampu merasakan manisnya iman, semangat dalam belajar ilmu agama islam, senantiasa memelihara sholatnya, rajin membaca n memperalam al-qur"nnya serta mampu mengamalkan ajarannya dalam kehidupan sehari2, peranan ulama dalam menyampaikan dakwah n pendidikan islam kepada umatnya serta lembaga2 pendidikan islam selain masjid sebagai sarana ibadah perlu ditingkatkan untuk membina generasi muda kita yang kelak menajdi penerus bangsa

    BalasHapus
  2. ulama jangan hanya mampu berdakwah di masjid n media saja, namun ulama juga harus memberikan bimbingan secara langsung melaui kegiatan2 yang dibutuhkan umatnya n memeberikan solusi jalan keluar bagi umatnya yang memiliki masalah

    BalasHapus
  3. tingkatkan terus kegiatan2 masjid n pengurus masjid harus mampu menghidupkan kajian2 islam sebagai sarana syiar islam bagi masyarakat setempat disamping sholat berjamaah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari dalam Perjuangan Bangsa

Manfaat Mempelajari Tafsir Alquran

Akibat Berbuat Zalim

Tiga Sebab Keruntuhan Peradaban Islam di Andalusia

Mengapa Banyak Orang Barat Menjadi Ateis?