Dahsyatnya Menulis Para Ulama
Dalam membuat tulisan, saya lebih senang menulis apa adanya atau
minimal mengomentari tulisan orang karena bagi saya hal itu bisa
menunjukkan kita memahami apa yang kita tulis. Daripada sekedar copy
paste apalagi mencontek tulisan orang dan menganggap tulisan itu milik
kita sendiri.
Syaikh Muhammad Al Ghazali rahimahullah saat
berkunjung ke rumah gurunya, yakni Syaikh Hasan Al Banna rahimahullah,
membaca-baca buku yang ada di perpustakaan milik gurunya tersebut. Di
dapati ribuan buku tersebut telah
dikomentari oleh sang guru dibagian pinggir-pinggir halaman. Tidak
heran, Syaikh Hasan Al Banna adalah ulama yang berwawasan luas dan
berpikir mendalam. Mengambil warisan umat dimasa lalu dan
kebaikan-kebaikan zamannya untuk kejayaan umat dimasa kini dan akan
datang.
Menulis dan
mengomentari adalah salah satu kebiasaan para ulama dari zaman dulu
sampai sekarang. Tidak hanya menulis, kepiawaian mereka dalam
mengomentari sebuah buku menunjukkan kedalaman ilmu mereka. Dan
seringkali ulama lain mengomentari komentar tersebut. Di dalam bahasa
Arab dikenal dengan istilah Syarah dan hasyiah. Bedanya, Syarah itu
mengulas keseluruhan isi tulisan yang sedang dibahas. Bentuknya lebih
panjang. Sedangkan hasyiah mengulas bagian-bagian tertentu saja dari
tulisan yang dibahas. Bentuknya lebih singkat.
Karena begitu rajinnya para ulama menulis, kadang Syarah itu disyarah lagi, hasyiah itu dihasyiah lagi. Kadang juga sekedar menulis matan untuk mempermudah ingatan. Kadang menulis mukhtashar dari suatu kitab. Lalu mukhtashar itu dimukhtashari lagi. Seperti kitab minhajuth Thalibin karya Imam Nawawi adalah mukhtashar dari kitab Al Muharrar karya imam Ar Rafi'i padahal Al Muharrar adalah mukhtashar dari kitab Al wajiz karya imam Al Ghazali.
Jadi tampaknya, kekayaan intelektual umat Islam sangat melimpah dan hampir tidak pernah kering disetiap zamannya. Selalu saja ada ulama yang tampil memperbaharui semangat dan pemahaman umat. Bagi saya yang awam, walaupun tidak semua buku dapat dibaca tetapi semangat belajar harus terus dinyalakan sampai mati.
Karena begitu rajinnya para ulama menulis, kadang Syarah itu disyarah lagi, hasyiah itu dihasyiah lagi. Kadang juga sekedar menulis matan untuk mempermudah ingatan. Kadang menulis mukhtashar dari suatu kitab. Lalu mukhtashar itu dimukhtashari lagi. Seperti kitab minhajuth Thalibin karya Imam Nawawi adalah mukhtashar dari kitab Al Muharrar karya imam Ar Rafi'i padahal Al Muharrar adalah mukhtashar dari kitab Al wajiz karya imam Al Ghazali.
Jadi tampaknya, kekayaan intelektual umat Islam sangat melimpah dan hampir tidak pernah kering disetiap zamannya. Selalu saja ada ulama yang tampil memperbaharui semangat dan pemahaman umat. Bagi saya yang awam, walaupun tidak semua buku dapat dibaca tetapi semangat belajar harus terus dinyalakan sampai mati.
Komentar
Posting Komentar