Orang Saleh Saja Banyak Beristighfar, Bagaimana dengan Pendosa?
Rasulullah Saw. bersabda, "Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak seratus kali." (HR. Bukhari)
Al Hafidz Al Ala’iy menjelaskan bahwa maksud taubat di hadits itu adalah taubat istighfar, yang mana Rasulullah Saw. banyak melakukannya.
Imam Al Munawiy menjelaskan bahwa ada perbedaan penyebutan jumlah taubat dalam hadits ini dan hadits lainnya yang menyebutkan 70 kali, namun itu semua cermin banyaknya istighfar bukan pembatasan jumlah istighfar yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Imam Abu Hanifah Rahimahullah jika merasa kesulitan dalam memecahkan suatu masalah maka beliau mengatakan kepada para sahabatnya,"Ini tidak lain karena dosa yang aku lakukan." Dan beliau beristighfar dan terkadang melaksanakan shalat, hingga terbuka bagi beliau permasalahan itu dan manyatakan,"Aku mengharapkan aku telah diampuni."
Apa yang biasa dilakukan Abu Hanifah itu akhirnya sampai kepada Fudhail bin Iyadh. Maka beliau langsung menangis tersedu-sedu hingga mangatakan, "Itu karena sedikitnya dosa beliau. Adapun orang lain tidak akan merasakan hal itu."
Apa yang biasa dilakukan Abu Hanifah itu akhirnya sampai kepada Fudhail bin Iyadh. Maka beliau langsung menangis tersedu-sedu hingga mangatakan, "Itu karena sedikitnya dosa beliau. Adapun orang lain tidak akan merasakan hal itu."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika masalah yang saya hadapi mengalami kebuntuan (sulit menemukan solusinya), saya beristighfar kepada Allah sebanyak seribu kali, lebih atau kurang. Allah pun memberikan saya jalan keluarnya."
Bila orang-orang saleh saja menjadikan istighfar sebagai bacaan harian mereka, lalu bagaimana dengan para pendosa?
Sebagian ulama salaf berkata, “Bergembiralah seorang yang menjumpai dalam catatan amalnya terdapat istighfar yang banyak.”
Imam Qatadah berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini menunjukkan kepada kalian tentang penyakit dan obatnya. Adapun penyakit itu adalah dosa-dosa, dan istighfar merupakan obat bagi kalian.”
Abu Musa Al-Asy’ari Ra. berkata, “Kami mempunyai dua pengaman dari azab. Yang pertama telah tiada, yaitu keberadaan Rasulullah di tengah-tengah kami, dan tinggallah istighfar bersama kami. Maka jika ia ikut lenyap, kami pasti binasa.”
Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Perbanyaklah beristighfar di rumah-rumah kalian, di meja-meja kalian, di jalan-jalan kalian, di pasar-pasar kalian, dan di majelis-majelis kalian! Sebab, kalian tidak tahu kapan ampunan akan turun.”
Orang saleh memperbanyak istighfar karena mereka tidak tahu pada istighfar ke berapa Allah mengampuni dosa-dosa mereka. Sedangkan para pendosa berangan-angan dengan sedikitnya kebaikan yang ada pada mereka. Lalu mereka menganggap bahwa Allah mengampuni dosa mereka. Roja (harapan) mereka tidak sebanding dengan khauf (takut) mereka kepada Allah. Padahal kebaikan itu ada di dalam roja dan khauf sekaligus, sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Saw. kepada kita.
Beristighar dapat dilakukan kapan saja. Tidak hanya disaat mendapat musibah, ketika mendapat nikmat pun Rasulullah memberi teladan kepada kita untuk beristighfar. Contohnya ketika Rasulullah dan para sahabatnya berhasil menaklukan kota Makkah dari tangan kafir Quraisy. Saat itu turunlah surat An-Nashr. Di mana di dalam surat itu Allah memerintahkan Rasulullah dan orang-orang beriman yang bersamanya untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar. Mengapa beliau diperintahkan bertasbih, bertahmid, dan beristighfar? Bukankah beliau baru saja mendapatkan kenikmatan dan itu artinya Allah telah meridhai beliau?
Bila kita renungkan lebih dalam lagi, ketika mendapat kenikmatan, bisa saja menimbulkan penyakit hati, seperti sombong karena merasa paling mulia di sisi Allah atau merasa apa yang telah dilakukan adalah hasil usahanya sendiri bukan berkat pertolongan Allah semata. Inilah mengapa kemudian Allah memerintahkan kepada kita untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighar. Yaitu segera menyadari bahwa semua karunia itu datangnya dari Allah Swt. Dengan bertasbih, bertahmid, dan beristighfar maka kenikmatan yang diperoleh menjadi sempurna. Yaitu kenikmatan hidup di dunia dan kenikmatan hidup di akhirat.
Demikianlah istighfar adalah suatu kewajiban bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, tidak pandang bulu, orang saleh atau para pendosa.
Demikianlah istighfar adalah suatu kewajiban bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, tidak pandang bulu, orang saleh atau para pendosa.
Komentar
Posting Komentar