Mengapa Umat Islam di Indonesia Belum Menjadi Tuan Rumah di Negerinya Sendiri?
Saya
sempat bertanya-tanya mengapa umat Islam di Indonesia secara perpolitikan tidak
berkuasa di negerinya sendiri. Lalu saya mencari tahu jawabannya dengan membaca
buku-buku sejarah kebangsaan, seperti buku "Menemukan Sejarah","Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia", "Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan di
Indonesia", "Ensiklopedia Ulama Nusantara", dan"Menegakkan Indonesia".
Saya
dapati di buku-buku yang saya baca itu, sejarah masa lalu kaum muslimin sangat
jauh berbeda dengan sejarahnya di masa kini. Dalam artian, kaum muslimin di
masa lalu benar-benar menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Mereka
menjalankan syariat-Nya dengan bebas dan leluasa. Mereka benar-benar menjadi
mayoritas dalam artian yang sebenarnya. Ulama dan Umaro saling bahu membahu
dalam menegakkan agama-Nya. Umaro begitu sangat mencintai dan mendengarkan
titah ulama.
Di
Aceh ada Syaikh Nuruddin Ar Raniry dan Syaikh Hamzah Fanshuri. Di Sumatera
Selatan ada Syaikh Abdush Shamad Al Falimbani. Di Sumatera Barat ada Syaikh
Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Di Banten ada Syaikh Nawawi Al Bantani. Di
Makassar ada Syaikh Yusuf Al Makasari. Di Banjarmasin ada Syaikh Arsyad Al
Banjari. Dan seterusnya. Indonesia dari Sabang sampai Merauke telah melahirkan
ulama-ulama besar yang namanya berkibar mulai dari tingkat nasional hingga
internasional.
Di
pertengahan abad ke-20, para ulama dan tokoh-tokoh muslim juga berperan penting
dalam keberlangsungan negara ini. Sebut saja misalnya, KH. Ahmad Dahlan, KH.
Hasyim Al Asyari, HOS. Cokroaminoto, KH. Agus Salim, DR. Muhammad Natsir, KH.
Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan Buya HAMKA. Di tambah lagi keberadaan
organisasi-organisasi Islam yang mengakar di masyarakat seperti Sarekat Islam,
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam, dan Persatuan Umat Islam.
Bahkan tokoh-tokoh bangsa seperti Jenderal Besar Sudirman lahir dari organisasi
Islam tersebut.
Fase
Orde Lama (ORLA) di masa Soekarno boleh dibilang umat Islam dengan
tokoh-tokohnya masih berperan penting di dalamnya. Banyaknya tokoh Islam dan
kejayaan partai-partai Islam seperti Masyumi, NU, dan PSI saat itu benar-benar
mengepung Soekarno cs sehingga 'terpaksa' Soekarno 'bagi-bagi kekuasaan' dengan
tokoh-tokoh Islam.
Masa
kelam tiba saat Soekarno mulai memperlihatkan kekuasaan abslotutnya. Saat
itulah banyak tokoh Islam di penjarakan karena mengkritik beragam kebijakan
Soekarno yang menyimpang. Regenerasi tokoh Islam atau estafeta perjuangan boleh
dibilang mulai berhenti. Umat Islam Indonesia hampir dikatakan tidak punya lagi
tokoh-tokoh besarnya.
Di
masa Soeharto (ORBA) adalah fase tersuram perpolitikan umat Islam. Karena kaum
muslimin benar-benar "dikebiri" sehingga tidak mampu berbuat banyak.
Tokoh-tokoh sekuler dan liberal, terutama dari kalangan militer dan
thinkthanknya bermunculan dan berada di ring satu kepresidenan membuat umat
Islam semakin tersudutkan. Setiap suara politik umat Islam selalu dibungkam,
tokoh-tokohnya di penjara, pengikutnya di awasi, dan segala gerak geriknya
dikategorikan subversif.
Lalu
biidznillah, tumbanglah rezim Soeharto. Sesuatu yang mungkin dirasa tidak
mungkin terjadi bagi mereka yang hanya melihat dengan kasat mata. Tapi itulah
sunnatullah. Allah pergilirkan kekuasaan pada siapa yang dikehendaki-Nya. Mataa nashrullah? Illa nashrullahi qoriib.
Boleh
dikatakan Orde Reformasi adalah fase emas bagi perpolitikan umat Islam. Hal ini
terlihat dari kehadiran Partai Politik yang mengatasnamakan Islam. Bisalah kita
lihat juga ormas seperti FPI berani tampil garang, HTI berani menyuarakan
khilafah, Jamaah Tabligh berkeliaran di jalan-jalan dan masjid-masjid. Di zaman
Soeharto mana mungkin mereka berani melakukan hal seperti itu. Namun di sisi lain,
mereka juga harus berhadapan dengan gerakan sekuler liberal yang juga sama-sama
bebas menyerukan seruannya. Bila al haq dan al batil bertarung menurut anda
siapa yang menang?
Bagi saya, pergantian ORBA
menjadi Orde Reformasi bukan sekedar pergantian rezim. Tapi hal ini adalah
sesuatu yang patut disyukuri karena peluang untuk melakukan kebaikan menjadi
lebih besar dan lebih bebas. Bila kenyataannya hingga saat ini umat Islam belum
bisa meraih kekuasaannya, tentu harus menjadi introspeksi bagi para penggeraknya
mengapa hal itu bisa terjadi. Pertama, apakah para pemimpin dan tokoh-tokohnya
sudah bisa menjadi teladan bagi orang-orang dibawahnya dan rakyat pada umumnya?
Kedua, apakah rakyat pada umumnya terbelenggu pada kemaksiatan sehingga pada
akhirnya mereka lebih memilih pemimpin yang sekuler dan liberal?
Komentar
Posting Komentar