Kebenaran Islam & Kebenaran Ilmu Pengetahuan
Pada hari sabtu lalu, saya,
istri, dan kedua anak saya mengunjungi museum geologi. Sebagai orang Bandung
yang bertahun-tahun tinggal di Bandung dan juga sering sekali saya melewatinya,
baru kali ini saya berkunjung ke tempat itu. Saya penasaran mengapa banyak
orang yang mengunjungi tempat itu. Akhirnya saya memutuskan untuk mengajak
istri dan kedua anak saya mengunjungi tempat itu. Istri saya sendiri sudah
beberapa kali mengunjungi tempat itu sewaktu dia masih mengajar di SDIT.
Saya dapati di dalam
musem itu benda-benda bersejarah, mulai benda-benda yang keberadaannya beberapa
tahun yang lalu hingga puluhan ribu tahun yang lalu. Mulai dari replika hingga
yang berwujud asli. Mulai dari bebatuan hingga fosil-fosil. Walaupun tergolong
singkat mengunjunginya, saya sangat menikmati pemandangan itu. Pada suatu hari
nanti saya akan mengunjunginya lagi. Mungkin seorang diri saja agar saya dapat
berlama-lama. Mencatat dan merenungkan keajaiban benda-benda di masa lalu.
Saya termasuk orang
yang mempunyai ketertarikan terhadap alam semesta. Saya membaca buku-buku yang
berkaitan tentang keajaiban alam semesta. Saya mencatat apa-apa yang saya lihat
dari keindahan alam semesta. Bila saya melihat pemandangan di bawah saya dari
atas bukit, saya melihat betapa luasnya alam semesta. Entah bagaimana bila saya
melihatnya dari luar angkasa. Itu yang saya lihat saat ini. Bagaimana dengan
makhluk-makhluk di masa lalu? Betapa luas terbentang alam semesta. Betapa
panjangnya ruang dan waktu. Betapa banyaknya makhluk yang masih ada dan yang
sudah punah. Begitu kompleks dan rumitnya penciptaannya. Betapa semua ini
adalah keajaiban.
Bagi orang yang
beriman kepada Allah, semua makhluk ciptaan-Nya tidaklah tercipta secara
kebetulan, melainkan ia ada karena ada yang menciptakannya, yaitu Allah Swt.
Semua yang ada di alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah, Tuhan, itu ada.
Jangankan kita berbicara tentang manusia yang penelitian tentangnya hingga kini
belum juga usai. Berbicara tentang seekor lalat saja kita masih juga belum
selesai. Dan masih banyak makhluk kecil lainnya yang masih diteliti hingga
kini. Apalagi kita berbicara tentang gunung. Apalagi kita berbicara tentang
bumi. Tentang alam semesta!
Lalu, bagaimana
dengan mereka, walaupun berilmu, yang tidak percaya kepada Tuhan? Bukankah
fakta-fakta menunjukkan bahwa alam semesta tidak tercipta secara kebetulan?
Saya melihat awal dari kekacauan ini terjadi karena Bibel dan gereja tidak
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang ketuhanan dan hal-hal
kontradiksi yang ada di dalamnya. Ilmuwan terkemuka, Sir Isaac Newton,
mempunyai minat pada agama dan teologi. Pada awal tahun 1690-an, ia mengirimkan
kepada sahabatnya, John Locke, satu kopi tulisannya yang mencoba membuktikan
bahwa ayat-ayat yang menyiratkan Trinitas di dalam Perjanjian Baru adalah
tambahan belakangan yang disisipkan oleh kubu Athanasius. Ketika John Locke
berniat menerbitkan karya itu, Newton segera menariknya kembali, karena takut
pandangannya yang anti-Trinitas diketahui umum.
Ketika ditanya oleh
salah seorang sahabatnya, apakah Charles Darwin mengimani Perjanjian Baru,
beginilah jawabannya, "Tuanku, saya mohon maaf harus menginformasikan
kepada Anda bahwa saya tidak mengimani Injil sebagai wahyu tuhan dan untuk itu
tidak mengimani Yesus sebagai anak tuhan. Salam hangat Ch Darwin,"
Tuhan Yesus pun
diragukan eksistensinya. Doktrin Trinitas yang sulit dipecahkan membuat ilmuan
Barat bertambah confuse. Bahkan pada titik ekstrim, mereka putus asa
mendiskusikan tentang Tuhan dengan mempertanyakan keberadaan Yesus. Groenen dalam
Sejarah Dogma Kristologi:Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat
Kristen menyimpulkan, kemisteriusan Yesus tidak dapat dijangkau akal. Bahkan ia
mempertanyakan apakah Yesus itu ada atau tidak.
Jadi, pada awal
mulanya yang dimaksud dengan penolakan mereka terhadap Sang Pencipta adalah
Sang Pencipta dalam agama Kristen. Mereka menutup mata tentang adanya kebenaran
ketuhanan dalam agama lain, dalam hal ini Islam. Mereka cukupkan sampai disini
pencarian mereka tentang konsep ketuhanan lalu menutup rapat-rapat adanya
pemikiran lain selain itu. Mungkin saja mereka takut, bila mereka melihat
keyakinan agama, meskipun berbeda dengan keyakinan agama mereka yang
sebelumnya, mereka akan menemukan hal yang sama dengan keyakinan agama mereka
sebelumnya; sama-sama buruk; sama-sama tidak masuk akal. Keyakinan seperti ini
kemudian menyebar pada seluruh penganut agama diluar Kristen.
Hal ini tampaknya
berbeda dengan apa yang terjadi dengan ilmuwan-ilmuwan muslim. Di masa keemasan
Islam, di mana banyak sekali bermunculan ilmuwan-ilmuwan besar, hampir tidak
ditemukan ilmuwan yang menjadi ateis. Tidak hanya percaya kepada Tuhan,
sebagian besar dari mereka juga berprofesi sebagai ulama yang banyak menguasai
ilmu agama. Jabir bin Hayyan, Bapak Pendiri Laboratorium Kimia Pertama, yang
hidup di abad ke-9 masehi menghubungkan sistem ilmiahnya dengan ajaran Islam.
Contoh yang lain adalah Ibnu Rusyd, ahli kedokteran dan filsafat sekaligus
seorang fakih penulis kitab Bidayatul Mujtahid. Ibnu Khaldun, selain seorang
sejarawan dan pakar ilmu-ilmu sosial, juga seorang gurubesar ilmu fikih.
Seorang orientalis,
Duncan McDonald memberikan komentar tentang relijiusitas Ibnu Sina: “Di samping
sebagai pengajar ilmu yang tekun, Ibnu Sina juga pembaca Al Quran dan yakin
dalam mengerjakan amal-amal keagamaan.” (Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, hal. 162).
Konsep ilmu
pengetahuan di dalam Islam tidak mungkin dipisahkan dengan konsep ketuhanan.
Sebagaimana firman Allah, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhan yang
menciptakanmu." Membaca disini tidak hanya dikaitkan dengan membaca
ayat-ayat Al Quran, tetapi juga membaca ayat-ayat alam semesta (kauniyah),
bahwa proses mengenal alam semesta tidak bisa dipisahkan dari proses mengenal
Allah apalagi sampai mengingkari keberadaan-Nya.
Konsep ilmu
pengetahuan di dalam Islam tidak menghalangi seseorang untuk menjadi seorang
berilmu sekaligus seorang beriman. Allah Swt. berfirman, "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak
di-sembah) melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana." (QS. Ali Imran: 18)
Setelah menyatakan
yang demikian, Allah Swt., pada ayat selanjutnya, berfirman, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di
sisi Allah hanyalah Islam...." (QS. Ali Imran: 19) Menunjukkan bahwa
Islam itu adalah kebenaran itu sendiri. Dan kebenaran Islam tidak bertolak
belakang dengan kebenaran ilmu pengetahuan.
Komentar
Posting Komentar