Ikhwanul Muslimin dan Tasawuf
Saya termasuk orang yang
mengambil manfaat dari kelompok manapun dan membuang yang tak berguna dari
kelompok manapun. Baik dari kalangan Salafi maupun Sufi. Saya mempelajari
buku-buku karya Imam Ibnul Qayyim dan Imam Ibnul Jauzy mencerminkan hal itu.
Saya juga berguru pada jamaah Ikhwanul Muslimin tentang hal ini. Buku-buku
seperti Madarijus Salikin, Shaidul Khathir, Dzammul Hawa dan Minhajul Qashidin banyak merekam nuansa
tasawuf atau tazkiyatun nafs dengan
sangat kuat. Buku yang terakhir (Minhajul
Qashidin) adalah hasil tahqiq dan takhrij Imam Ibnu Al Jauzy terhadap buku Ihya Ulumuddin. Dengan kata lain, beliau
"menulis ulang" buku Ihya
Ulumuddin; meluruskan yang menyimpang, mencantumkan yang bermanfaat,
membuang hadits-hadits yang dhaif dan jika ada menggantinya dengan
hadits-hadits yang shahih. Intinya, gagasan besar buku Ihya Ulumuddin sebenarnya masih tersimpan dalam buku Minhajul Qashidin.
Saya pernah membaca buku yang
ditulis tokoh Ikhwanul Muslimin. Buku itu tidak terlalu tebal. Buku itu adalah
sebuah intisari dari kitab Madarijus
Salikin karya Imam Ibnul Qayyim. Tokoh Ikhwan itu berkata dalam
mukadimahnya jika apa yang dia tulis adalah materi-materi yang disampaikannya
kehadapan kader-kader Ikhwan ketika di dalam penjara. Saya teringat yang
pertama kali menerjemahkan kitab Madarijus
Salikin secara lengkap (3 jilid) ke dalam bahasa Indonesia adalah dari
penerbit Robbani Press, penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku harokah
Ikhwanul Muslimin.
Sosok masyaikh Ikhwan yang sangat kental nuansa sufistiknya di antara Syaikh Said Hawwa yang telah mensyarah kitab Al Hikam, sebuah mahakarya Imam Ibnu A'thaillah As Sakandari, seorang gurubesar Tarekat Syadziliyah. Kitab beliau yang lain seperti Tazkiyatun Nufus, yang merupakan intisari dari Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali. Lalu ada kitab Tarbiyatunar Ruhiyah yang merupakan rujuk antara harokah dan tasawuf. Mungkin kitab Al Hikam di pilih karena pada hakikatnya kitab itu selain menggambarkan kejernihan, juga menjelaskan hikmah dan keseimbangan, antara dunia dan akhirat, akal dan hati.
Tokoh yang lain adalah Syaikh Muhammad Al Ghazali. Beliau juga telah menulis kitab Al Janib Al 'Athifi fi Al Islam di antaranya banyak menjelaskan isi kitab Al Hikam. Kitab Al Hikam adalah butiran-butiran mutiara berharga dengan bahasa Arab yang fushah sehingga sangat berharga untuk disampaikan dan dijelaskan kepada umat. Buku beliau lainnya yang bernuansa tazkiyatun nafs adalah Fann Adz Dzikri wa Ad Dua' Inda Khatim Al Anbiya. Yaitu pembahasan tentang dzikir dan doa.
Ada yang mengatakan tasawuf adalah kelemahan. Memang betul. Tapi tasawuf yang dimaksud adalah tasawuf yang menyimpang dari syariat. Sementara tasawuf yang menjalankan syariat, justru malah menguatkan dan mensucikan hati. Hal ini telah dijelaskan dalam buku Majmu Fatawa karya Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau berkata, "Seorang sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqa’iq) haruslah memenuhi 3 syarat berikut:
Pertama, Ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”. Yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang sufi yang hakiki harus komitmen dengan jalan taqwa. Kedua, Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bid’ah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Ketiga, bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan.
Tiga syarat di atas adalah tiga gambaran besar tentang sosok sufi sejati. Para pejuang-pejuang Ikhwanul Muslimin di manapun berada, dari zaman Imam Hasan Al Banna yang syahid di Mesir, Syaikh Abdullah Azzam yang syahid di Afghanistan, hingga Syaikh Ahmad Yasin yang syahid di Palestina, pada gilirannya adalah sosok-sosok sufi sejati yang menghabiskan siang-malam untuk taqarub kepada Allah Swt.
Komentar
Posting Komentar