Apakah Sudah Pantas Kita Mendapat Gelar Cendikiawan?
Saya tidak ingin mengaku-ngaku diri saya sebagai Ustadz, ulama, atau bahkan cendikiawan. Kalaupun sampai orang akhirnya memanggil saya dengan gelar-gelar itu, itu hak mereka. Sedangkan saya sendiri tidak akan memakai gelar-gelar itu untuk kepentingan saya pribadi. Cukup pakai nama saya saja. Tanpa embel-embel apapun.
Saya heran, kenapa orang begitu mudahnya menjuluki dirinya sebagai ustadz, bahkan cendikiawan muslim. Apakah kepakarannya sudah sampai pada taraf itu? Saya pikir gelar-gelar itu disematkan oleh masyarakat, bukan oleh dirinya sendiri.
Menurut situs artikata.com, cendikiawan adalah orang cerdik pandai; orang intelek; orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Sedangkan menurut wikipedia, Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan.
Melihat definisi cendikiawan ini, saya semakin menyadari jika saya belum layak menyandang gelar itu. Karena, saya belum mampu secara konsisten meningkatkan kemampuan berpikir saya untuk dapat mengetahui dan memahami sesuatu.
Sampai disini, saya memberi catatan tentang hakikat cendikiawan. Bahwa cendikiawan itu adalah orang yang merenung atau bermuhasabah tentang dirinya. Kedua, cendikiawan yang terus menggali khazanah agamanya. Ketiga, cendikiawan yang terus memikirkan alam semesta beserta isinya. Semuanya harus dilakukan dengan tujuan yang positif. Yaitu membuat hidupnya menjadi lebih baik.
Siapapun orangnya bisa menjadi cendikiawan. Yaitu mereka yang secara konsisten meningkatkan kemampuan berpikirnya. Artinya, posisi ini bisa diperoleh oleh kualitas diri, oleh siapa saja, meskipun secara kuantitas pendidikan bisa saja rendah. Contohnya, seorang yang bergelar sarjana strata 1 bisa saja lebih cendikia daripada yang strata 2 atau 3. Karena sarjana s1 terus menerus secara konsisten meningkatkan kemampuan berpikirnya. Sedangkan yang bergelar akademik di atasnya, justru terhenti atau menikmati zona nyamannya tanpa perlu meningkatkan kemampuan berpikirnya. Maka, orang seperti ini bisa tersusul kualitas dirinya.
Komentar
Posting Komentar