Ridwan Kamil, Kopiah, dan Sejarah Budaya Bangsa
Kalau
melihat foto kang Emil saat jalan bareng dengan Jokowi cs, tampak ada yang
berbeda dari kang Emil dari kebanyakan orang yang difoto saat itu. Yaitu kopiah
atau peci atau songkok yang dipakainya. Kalau melihat foto-foto sejarah pendiri
bangsa, kemana-mana sering pakai songkok atau kopiah. Sebut saja misalnya
Soekarno, Hatta, Agus Salim, Natsir, Sutan Syahrir, dan Wahid Hasyim. Mungkin
karena inilah kang Emil disangka Presiden Indonesia oleh wisatawan dari Jerman.
Karena para wisatawan itu melihat foto-foto pemimpin bangsa ini juga
menggunakan songkok.
Menurut
laman wikipedia, Songkok, yang disebut juga sebagai peci atau kopiah merupakan
sejenis topi tradisional bagi orang Melayu. Di Indonesia, songkok yang juga
dikenal dengan nama peci ini kemudian menjadi bagian dari pakaian nasional, dan
dipakai tidak hanya oleh orang Islam. Songkok juga dipakai oleh tentara dan
polisi Malaysia dan Brunei pada upacara-upacara tertentu. Penutup kepala ini
merupakan variasi dari Fes atau Tharbusy yang berasal dari Maroko.
Songkok
populer bagi masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura, Indonesia dan selatan
Thailand. Perlengkapan ini dikatakan berasal dari pakaian yang dipakai di
Ottoman Turki. Songkok menjadi popular dikalangan India Muslim dan menurut
pakar kemudiannya berangsur menjadi songkok di dunia Melayu.
Sedangkan
dari segi bahasa, sebagaimana diungkap oleh Gustaaf Kusno di kompasiana.com, istilah
‘kopiah’ di adopsi dari kata Arab ‘keffieh’, ‘kaffiyeh’, atau ‘kufiya’, namun
wujud topi ini sama sekali berbeda dengan tutup kepala orang Melayu ini.
Kaffiyeh berbentuk kain katun segi empat yang ditangkupkan di atas kepala dan
pola kainnya biasanya berbentuk kotak-kotak kecil seperti jala ikan. Tokoh yang
populer mengenakan kaffiyeh ini adalah Yasser Arafat, pejuang Palestina.
Sebagaimana kata-kata Arab lain yang diserap ke dalam bahasa Melayu, suara ‘f’
berubah pelafalan menjadi ‘p’, sehingga ‘kufiah’ pun menjadi ‘kopiah’.
Tutup
kepala orang Melayu ini ternyata juga dikenal dengan nama ‘peci’. Istilah ini
kemungkinan besar ‘diperkenalkan’ oleh penjajah Belanda dengan sebutan ‘petje’,
yaitu kata ‘pet’ yang diberi imbuhan ‘-je’ (kebiasaan orang Belanda menambahkan
akhiran ‘je’ atau ‘tje’ yang makna harfiahnya ‘kecil’). Namun sama halnya
seperti ‘kaffiyeh’, ujud topi ‘pet’ ini sangat berbeda dengan ‘peci’ yang kita
kenal sekarang ini. Topi pet ini mempunyai pinggiran pelindung matahari dan
biasanya dipakai oleh tentara di daerah operasi. Penamaan yang sebetulnya
keliru dari orang Belanda ini, akhirnya malah kita adopsi menjadi kosakata
Indonesia. Jadilah ‘petje’ ini menjadi ‘peci’. Sama halnya seperti ‘je’ atau
‘tje’ lainnya, seperti ‘panje’ menjadi ‘panci’, ‘schuitje’ menjadi ‘sekoci’
(perahu penyelamat), ‘laje’ menjadi ‘laci’.
Bagaimana
pula dengan istilah ‘songkok’? Dalam bahasa Inggris dikenal istilah ‘skull cap’
( dari skull = batok kepala, cap = topi). Skull cap ini juga topi yang biasa
dikenakan masyarakat di Timur Tengah, bentuknya setengah bundar dan menutupi
bagian ubun-ubun (crown) kepala, mirip dengan ‘topi haji’ yang sering dipakai
orang di tanah air kita. Di kawasan Melayu yang dahulu dijajah Inggris, istilah
‘skull cap’ ini juga mengalami metamorfosa pelafalan, dari bunyi ‘skol-kep’
menjadi ‘song-kep’ dan akhirnya ‘song-kok’. Istilah ‘songkok’ di tanah air kita
cukup populer di zaman Soekarno, namun di masa kini sepertinya agak jarang
diucapkan orang. Berbeda dengan di Malaysia dan Brunei, kata ‘songkok’ ini
masih sangat galib dipakai dalam wacana sehari-hari.
Begitulah
sejarah dan asal usul istilah kopiah, peci, atau songkok telah populer sejak
zaman sebelum kemerdekaan. Yang mempopulerkan justru bangsa kita sendiri
sehingga melekat pada kebudayaan kita. Bahwa orang melayu, orang Indonesia
terkenal dengan kopiahnya. Kalau ada orang pakai kopiah kemungkinan besar itu
orang Indonesia atau orang melayu. Benarlah apa yang dikatakan oleh kang Emil,
sebagaimana dikatakannya di twitternya, "Saya itu terbiasa berpeci di setiap
acara kedinasan. peci adalah simbol nasionalisme. Mohon maaf jika jadi salah
paham. lain kali saya akan menyesuaikan."
Pada
hakikatnya bukan kang Emil yang salah, tapi tampaknya para pemimpin bangsa saat
ini yang tidak terbiasa menggunakan kopiah.
Komentar
Posting Komentar