Warisan Ilmiah Kajian Keagamaan dalam Islam
Sepanjang
sejarah hidup saya, saya belum pernah mendengar kajian keagamaan umat dari
agama lain melebihi kajian keagamaan yang telah dilakukan oleh umat Islam.
Entah sudah berapa banyak buku yang membahas tentang fikih, ushul fikih,
hadits, tafsir, sejarah, sastra, dan tasawuf. Kalau dikumpulkan mungkin tidak
terhitung jumlahnya.
Kita
sedang tidak membahas disiplin ilmu lainnya seperti ilmu-ilmu sains alam dan
sains sosial walaupun juga sangat banyak jumlahnya dalam sejarah Islam dan
sering beririsan dengan kajian-kajian keagamaan kita. Kita cukupkan saja
tentang kajian-kajian keagamaan an
sich. Lalu kita bandingkan dengan
kajian-kajian keagamaan yang dilakukan oleh umat dari agama lain. Maka akan
tampak betapa sangat jauh perbedaannya.
Sejak
zaman Galileo Galilei, kemudian zaman renesainsce, dunia Barat menjauhi agama
yang mereka anut dan akibatnya mereka juga menjauhi kajian-kajian keagamaan.
Hanya sedikit dari kalangan mereka tetap melanjutkan kajian itu. Kalaupun ada
seringkali kajian-kajian mereka hanya bersifat teologis atau kalam. Karena toh
agama mereka tidak menunjukkan wujud syariat yang komprehensif. Kajian-kajian
keagamaan mereka paling dominan membahas seputar ketuhanan, seperti apakah
Yesus itu Tuhan atau bukan? Apakah Tuhan itu tiga atau satu?
Sedangkan
bagi umat Islam masalah ketuhanan sudah final sehingga kajian-kajian tentangnya
bukan untuk bertanya-tanya apakah Allah itu Tuhan atau bukan? Atau Allah itu
tiga atau satu? Melainkan bertujuan untuk semakin mengenal-Nya (ma'rifatullah),
mendekat kepada-Nya (taqarub ilallah), dan mencintai-Nya (mahabbatullah).
Kajian-kajian seperti ini sangat banyak jumlahnya terutama dalam ilmu tasawuf.
Selepas
itu, umat Islam mengkaji masalah-masalah lain yang tidak kalah pentingnya.
Mulai dari ajaran yang kecil hingga yang besar, mulai dari mencukur jenggot,
memotong kuku hingga masalah bermasyarakat dan bernegara. Sehingga saya katakan
kajian keagamaan kita seringkali beririsan dengan studi-studi sains alam maupun
sosial. Sebaliknya, sains alam dan sains sosial kita juga beririsan dengan
studi-studi keagamaan karena kajian kita bersifat Rabbani (ketuhanan)
dan syumul(menyeluruh). Bila kita membaca sejarah ulama di masa
keemasan Islam akan membuktikan hal ini. Selain dikenal sebagai pakar
keagamaan, ulama kita juga pakar dibidang sains alam dan sains sosial.
Sangat
disayangkan bila kita mengabaikan warisan sejarah kita yang gemilang. Padahal
dari warisan itu kita dapat merenda masa depan. Warisan itu adalah modal
berharga untuk umat agar kembali meraih kejayaannya. Umat telah memiliki
tradisi keilmuan yang panjang dan teruji dalam sejarah. Dari ilmu itu muncullah
butir-butir kebijakan yang berandil besar dalam melestarikan kejayaan. Maka ada
tiga hal yang perlu kita perhatikan dalam hal ini: Pertama, memperhatikan
sejarahnya yang gemilang berikut warisannya yang berharga dapat memunculkan
kembali muruah dan izzah umat agar tidak menderita penyakit rendah diri
dihadapan umat agama lain. Umat harus bangga dengan agamanya sebagaimana
ungkapan isyhadu bi anna muslimin.
Kedua, mengambil kebaikan
sebanyak-banyaknya dari warisan masa lalu umat agar umat tidak putus dari sejarahnya
yang gemilang. Mengaktifkan kembali kajian-kajian keagamaan seperti fikih tasyri(perundang-undangan), fikih dauli (kenegaraan), dan fikih
iqtishadi (ekonomi) sebagai
upaya untuk membentuk kembali daulah islamiyah di era modern. Bahwa Islam
adalah agama dan negara.
Ketiga, mengambil
kebaikan sebanyak-banyaknya dari peradaban modern dengan tetap berlandaskan
kepada keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemajuan dalam Islam adalah
kemajuan yang beriman, bukan yang melepas iman.
Sebagai
penutup, saya mengutip perkataan Syaikh Muhammad Al Ghazali rahimahullah,
"Ilmu Islam mengisi akal dengan cahaya dan hati mengisi hati dengan
keyakinan. Para ulama pun telah berjuang sehingga mereka berhasil membentuk
generasi-generasi mulia dan bersih. Tak lama kemudian, khilafah sekali lagi
hadir mengangkat bendera tauhid di timur dan barat."
Komentar
Posting Komentar