Tafakur di Great Wall

Saat saya di China (Tiongkok) saya menyaksikan kemegahan dan kedahsyatan Tembok Besar yang kesohor itu. Sejak mengetahuinya pertama kali di waktu SD, saya sudah bercita-cita mengunjunginya suatu saat nanti. Alhamdulillah cita-cita itu pada akhirnya kesampaian juga.

Mengapa saya bilang Tembok Besar itu begitu megah dan dahsyat? Kemegahan dan kedahsyatannya bukan hanya terletak pada bangunannya, tapi juga sejarah pembangunannya yang memakan waktu beberapa generasi. Dimulai dari Zaman Musim Semi dan Gugur (722 SM-481 SM) dan Zaman Negara Perang (453 SM- 221 SM) untuk menahan serangan musuh dan suku-suku dari utara Tiongkok.. Selanjutnya Dinasti Qin, Dinasti Han dan Dinasti Ming.Namun, sebagian besar rupa tembok raksasa yang berdiri pada saat ini merupakan hasil dari periode Ming. Jadi sungguh hebat tempat ini. Kaisar yang satu membangun tembok besar ini. Kemudian diikuti oleh kaisar-kaisar yang berikutnya. Kabarnya, panjang asli tembok ini sejauh lebih dari 8.850 km. Penelitian terbaru malah menyebutkan lebih panjang lagi, yakni 21.196,18 km. Dan kini yang tersisa kurang lebih 5000 km. Tidak terbayangkan oleh saya kalau saya berhasil menjelajahi sejauh itu karena saya hanya sanggup berjalan menelusurinya sejauh 2 km.

Tembok Besar dimasukkan sebagai salah satu keajaiban dunia. Kalau kita buka kamus bahasa Indonesia, keajaiban memiliki arti sesuatu yang sepertinya mustahil terjadi tapi ternyata terjadi. Bercermin dari keajaiban Tembok Besar, ia tercipta bukan dari satu tahun dua tahun tapi tercipta selama ratusan hingga ribuan tahun. Begitupun bila kita mengharapkan keajaiban dalam hidup kita, bukan setahun dua tahun ia mewujud, tapi bertahun-tahun lamanya, seumur hidup kita, kita membangun hidup kita, fokus, kerja keras, semangat, dan doa.

Suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya muridnya, “mataa yajidul abdu tha’marrahah?” “kapan seseorang bisa beristirahat?” Ia menjawab, “Indamaa yatha’u ihda qadamaihi fil jannah” (“Jika kita telah menginjakkan kaki di Surga, maka disanalah kita akan beristirahat”)

Pada kesempatan lain ada yang bertanya kepada Imam Ahmad tentang ketekunannya dalam menuntut ilmu, “Kadang ke Kufah, kadang ke Bashrah, kadang ke Hijaz, dan kadang ke Yaman. Sampai kapan?” Imam Ahmad menjawab, “Bersama mihbarah (wadah tinta) sampai ke maqbarah (kuburan).”

Bila saja Imam Ahmad berhenti menuntut ilmu atau hanya sekedarnya saja, mungkin kita tidak mengenal Kitab Al Musnad Al Kabir karya fenomenal beliau yang berisi lebih dari 27.000 hadits dan beberapa buku yang beliau tulis lainnya. Begitupun yang telah dilakukan oleh ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar lainnya. Kesuksesan mereka adalah perjalanan yang tidak berhenti pada satu momen keberhasilan, tapi terus berjalan hingga mereka wafat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari dalam Perjuangan Bangsa

Manfaat Mempelajari Tafsir Alquran

Akibat Berbuat Zalim

Tiga Sebab Keruntuhan Peradaban Islam di Andalusia

Mengapa Banyak Orang Barat Menjadi Ateis?