Menjadikan Hinaan Sebagai Cambuk Kebaikan
Imam
Al Bukhari di waktu kecilnya sering mendatangi para fuqaha di Marwa. Jika
mendatangi mereka, Imam Al Bukhari malu untuk mengucapkan salam.
Sampai
pada suatu saat salah satu pendidik di tempat itu bertanya, "Berapa hadits yang
engkau tulis hari ini?" Imam Al Bukhari pun menjawab,"Dua". Maka tertawalah
mereka yang berada di majelis tersebut.
Setelah
itu, salah satu syeikh mengatakan, "Janganlah kalian menertawainya. Bisa
jadi suatu saat ia yang akan menertawakan kalian!” (Siyar
A’lam An Nubala, 12/401)
Benar
adanya, meski pernah menjadi bahan tertawaan, ketekunan Imam Al Bukhari dalam
menuntut hadits sejak di masa kecil membuatnya menjadi ulama besar di dunia
Islam.
Sahabat,
sering orang menertawakan kita bukan karena kita lucu tapi karena mereka tidak
tahu tentang siapa diri kita sebenarnya. Tentang kebaikan yang banyak kita
lakukan. Tentang kebaikan yang kita sembunyikan. Tentang betapa bersungguhnya
kita dalam menuntut ilmu dan beramal.
Bertahan
dan bersabar untuk terus setia di jalan yang selama ini kita tempuh adalah
jawabannya. Karena bila kita mundur ke belakang malah menunjukkan
ketidakikhlasan kita dalam beramal. Kita menunjukkan amal-amal kebaikan yang
banyak kepada orang-orang agar kita dihormati. Kita menunjukkan betapa luasnya
ilmu kita agar kita tidak dianggap bodoh.
Imam Ahmad bin Hanbal setiap
hari berdoa dengan menyebut satu persatu sahabat-sahabatnya. Imam Ibnu Sirin
pada siang hari tertawa, namun tatkala sedang sendirian air matanya mengalir
laksana sungai.
Seorang sufi terkenal, Bisyr
al-Hafi, sering duduk bersama penjual minyak wangi. Thalhah bin Mathruf,
seorang qari terkemuka asal Kufah, setelah melihat bahwa telah banyak orang
yang belajar darinya, dia malah berangkat menuju al-A’masy dan belajar darinya,
hingga orang-orang lebih condong kepada al-A’masy dan meninggalkan
Thalhah.
Komentar
Posting Komentar