Keberanian dalam Memulai Kebaikan
"Barangsiapa
tidak menyayangi siapa (yang berada) di bumi maka tidak menyayanginya siapa
(yang berada) di langit." (HR. Ath
Thabrani, dan dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi)
Dalam Syarh Al
Hikam disebutkan, bahwa seseorang bermimpi bertemu dengan saudaranya yang
telah wafat, kemudian ia pun bertanya mengenai perihalnya, "Apa yang telah
Allah lakukan terhadapmu?" Saudaranya itu pun menjawab,”Allah mengampuniku
dan menyayangiku, hal itu disebabkan saat aku melalui jalanan di Baghdad dalam keadaan hujan deras, aku menyaksikan
seekor kucing kedinginan, aku pun merasa kasihan lalu aku ambil dia dan
kuletakkan dibalik pakaiannku." (Lihat, Faidh Al Qadir, 6/239)
Melakukan
kebaikan memerlukan keberanian untuk memulai.Saat berada di dalam sebuah bus,
disebelah kita ada seorang nenek berdiri. Dia berdiri karena tidak dapat
kebagian tempat kursi. Karena kasihan kita pun mempersilahkan sang nenek untuk
duduk di tempat kita duduk. Tampak sederhana. Tapi sungguh hal itu memerlukan
keberanian untuk memulai. Karena bisa saja ada respon orang lain yang membuat
kita malu. Misalnya perkataan teman kita, "Wah solehnya kamu",
"Ngga nyangka kamu begitu peduli". Atau pandangan tidak biasa dari
orang-orang di sekeliling kita.
Mungkin
mereka memandang kita demikian karena kita tidak seperti yang mereka bayangkan
sebelumnya; kita ini sama seperti mereka. Sama-sama tidak peduli. Sama-sama
tidak soleh.
Keberanian
itu mengalahkan ocehan-ocehan yang membuat kita malu atau ego yang membuat kita
tidak bergerak atau rasa malas yang membuat kita tidak mau berkorban.
Keberanian kita akan menjadi pembeda antara kita dengan mereka; apakah kita
sama seperti mereka atau tidak. Tatkala orang lain tidak peduli; apakah kita
peduli atau tidak. Memulai tradisi yang baik menjadikan kita gerbong yang
diikuti; pahala yang kita terima tidak hanya berhenti disitu tapi terus sampai
hari penghisaban.
Komentar
Posting Komentar