Ikhwanul Muslimin dan Khilafiyah
Kelompok
sufi dan tradisional menuduh Ikhwanul Muslimin adalah Wahabi. Sementara
kelompok Salafy menuduh Ikhwanul Muslimin sebagai jamaah Sufi. Ikhwanul
Muslimin dijepit dan diserang di antara dua tuduhan ini. Saya tidak sedang
mengada-ngada terhadap tuduhan-tuduhan ini karena bisa dilacak pada dua
kelompok tersebut.
Menurut saya, mereka yang
menuduh tersebut karena dua hal: Pertama karena mereka tidak memahami manhaj Ikhwanul
Muslimin. Dan kedua karena permusuhan mereka terhadap Ikhwanul
Muslimin. Imam Hasan Al Banna memberi nama jamaahnya tentu saja mempunyai
makna, harapan, dan cita-cita. Sebagaimana juga para pendiri jamaah Islam
lainnya memberi nama jamaahnya. Ikhwanul Muslimin mempunyai arti “persaudaraan
kaum muslimin”. Imam Hasan Al Banna memahami dakwah dimana ia bersentuhan
langsung dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat. Beliau keluar masuk
kedai-kedai kopi, berinteraksi dengan orang awam hingga para ulama. Salah satu
permasalahan yang sering terjadi adalah keributan-keributan pada masalah
khilafiyah yang tidak pernah berkesudahan ujung pangkalnya; antara pembaca
qunut dengan yang tidak, antara pembaca niat yang dijaharkan dengan yang tidak,
antara pembaca sayidina pada
shalawat dengan yang tidak, dan seterusnya. Keributan-keributan itu membuat
umat Islam terpecah belah sehingga semakin terpuruk. Umat Islam sudah terpuruk
karena kehilangan lambang pemersatu mereka, yaitu kekhalifahan Utsmaniyah,
ditambah lagi pada keributan seputar khilafiyah. Keterpurukan umat Islam adalah
musibah bagi zaman karena Islam tidak lagi menjadi ustadziyatul alam atau sokoguru peradaban.
Imam Hasan Al Banna adalah
anak didik dari madrasah Imam Jamaluddin Al Afghani yang dikenal dengan ide Pan
Islamisme-nya, anak didik dari madrasah Imam Muhammad Abduh dengan modernisasinya,
anak didik dari madrasah salafiyahnya Imam Rasyid Ridha, sekaligus anak didik
jamaah tarekat Hashafiyah yang mana istilah "mursyid am" adalah
diambil dari istilah pembimbing tarekat itu sendiri dan wirid alma'tsurat
adalah kebiasaan rutin jamaah tarekat itu. Maka semua istilah itu beririsan
dengan manhaj Jamaah Ikhwanul Muslimin. Imam Hasan Al Banna mengatakan tentang
hakikat Ikhwanul Muslimin:
1. Dakwah salafiyah (dakwah salaf),
2. Thariqah sunniyah (jalan sunnah),
3. Hakikat shufiyah (hakikat sufi),
4. Hai'ah siyasiyah (lembaga politik),
5. Jama'ah riyadhiyah (kelompok olahraga),
6. Rabithah 'ilmiyah tsaqafiah (ikatan ilmiah berwawasan),
7. Syirkah iqtishadiyah (perserikatan ekonomi), dan
8. Fikrah ijtima'iyah (pemikiran sosial)
Kedelapan unsur ini tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya atau tidak bisa dihilangkan satu bagian
dari keseluruhannya karena bila terjadi akan kehilangan hakikatnya. Maka
tidaklah mengherankan apabila didalam tubuh jamaah ini terdapat banyak corak
ragam pemikiran namun tetap menjalin persaudaraan dan saling mengasihi,
sebagaimana yang terjadi pada salafus salih dahulu. Di antara tokoh-tokohnya
ada yang berkecenderungan tasawuf seperti Syaikh Bahi Al Khuli, Syaikh Said
Hawwa, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Syaikh Mutawalli Sya'rawi, dan Syaikh
Muhammad Al Ghazali. Ada yang berkecenderungan salafy seperti Syaikh
Muhibbuddin Al Khatib, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Manna Al Qathan, dan Syaikh
Yusuf Al Qaradhawi. Namun semuanya memiliki titik temu dalam manhaj Ikhwanul
Muslimin. Mereka para sufi yang fakih dan para fakih yang sufi. Mereka
menelurkan karya tazkiyatun nafs, di sisi lain menelurkan pula karya dibidang tafsir, fikih,
dan hadits.
Oleh karena itu, bukanlah pada
tempatnya meributkan masalah khilafiyah dalam jamaah Ikhwanul Muslimin.
Cukuplah mempersatukan umat dengan tiga perkara: pertama, kesatuan referensi (wihdatul maraji’iyah), semuanya berhukum dengan
syariah Islam yang bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah; kedua, kesatuan tanah
air Islam (wihdatu darul Islam), meskipun terdiri dari
banyak negara yang jaraknya berjauhan; ketiga, kesatuan kepemimpinan (wihdatul qiyadah as-siyasiyah), yang diwujudkan dengan
khalifah sebagai pemimpin tertinggi.
Komentar
Posting Komentar