Melihat Indonesia dari Luar Negeri (2)
Sudah
lazim wisatawan asal Indonesia dikenal sebagai wisatawan yang doyan belanja.
Sebagian dari penjualnya sudah fasih berbahasa Indonesia. Hal ini tentu saja
membuat calon pembeli akan lebih senang berbelanja ke penjual yang bisa
berbahasa Indonesia ketimbang yang tidak bisa.
Berdasarkan
laporan perusahaan belanja wisatawan Global Blue Analytics yang dikutip China
Daily (hal. 7, edisi 11 juni 2014), ada 5 negara yang terbilang cukup royal
dalam rata berbelanja di luar negeri dalam mata uang dollar: 1. Tiongkok $
1.103, 2. Amerika Serikat $ 876, 3. Indonesia $ 823, 4. Jepang $ 689, dan Rusia
$ 482.
Dari
data di atas dapat kita lihat, Indonesia berada pada rangking ketiga dalam hal
berbelanja di luar negeri. Ini baru sebatas mata uang dollar, belum mata uang
real Arab Saudi, Yuan China, Dollar Hongkong, Ringgit Malaysia, Euro Eropa, dan
seterusnya, bisa jadi Indonesia berada di peringkat pertama.
Indonesia
bersaing menduduki peringkat pertama dengan negara-negara yang jauh lebih maju
perekonomiannya. Bandingkan dengan Tiongkok yang pendapatan perkapitanya $
10.000 per tahun dan PDB nya terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat,
Amerika Serikat dengan pendapatan perkapitanya $ 49.800, Jepang $ 38.457, Rusia
$ 16.690. Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata pendapatan perkapitanya baru
sampai $ 3.797. Wajar saja negara-negara maju mampu berbelanja lebih banyak
daripada negara-negara berkembang karena toh pendapatan perkapitanya jauh lebih
besar berlipat-lipat dibanding negara-negara berkembang khususnya Indonesia.
Jadi,
uang yang ada di dalam negeri, dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk
dihabiskan berbelanja di luar negeri. Berbeda dengan di Indonesia, 60% mal-mal
di Singapura justru berasal dari belanja wisatawan termasuk dari Indonesia.
Jadi, negara seperti Singapura kaya bukan dari wisatawan domestik tetapi datang
dari wisatawan mancanegara dalam hal ini Indonesia. Di Indonesia walaupun
sudah banyak sentra-sentra industri, tapi karena political will pemerintah dan
pelaku bisnis travel kurang, hasilnya wisatawan-wisatawan mancanegara malah
lebih diarahkan ke wisata alam, bukan wisata belanja produk lokal.
Karena
banyaknya barang belanjaan, tas pun "beranak pinak". Tadinya hanya
bawa satu, kini bawa 2-3. Tadinya bawa 2, kini bawa 3-4. Dan seterusnya hingga
pusing sendiri apakah tas bagasi sudah melampaui dari berat yang ditentukan
atau belum. Pernah saya lihat seorang ibu terpaksa membongkar tas bagasinya
karena kelebihan berat. Kemudian sebagian isinya dia titipkan kepada seorang
temannya yang tas bagasinya masih bisa diisi beberapa kilogram lagi.
Melihat
dahsyatnya belanja masyarakat Indonesia ini, orang-orang luar
berbondong-bondong mendirikan mal-mal. Seperti sebuah lingkaran setan,
masyarakat kita di setting untuk menjadi masyarakat yang konsumtif. Shopping
center tidak lagi dilihat sebagai pusat belanja semata tetapi telah menjadi
pusat rekreasi bagi keluarga, anak-anak dan masyarakat kita pada umumnya.
Apakah hal itu juga terjadi pada Anda?
Bandingkan
dengan masyarakat Eropa pada akhir pekan lebih suka melakukan adventure atau
petualangan ketimbang ke mall. Demikian laporan dari traveltextonline.com.
Pada
hakikatnya negara kita adalah negara yang sangat kaya sumber daya alamnya.
Tetapi kekayaan itu menjadi hal yang biasa-biasa saja ketika masyarakatnya
tidak dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Masyarakat yang konsumtif
adalah masyarakat yang membeli barang tidak sesuai dengan kebutuhan dan
menerima begitu saja tanpa pernah berpikir untuk menciptakannya. Sumber daya
alam kita di ekspor, lalu di jual kembali oleh orang luar ke Indonesia dengan
beraneka ragam macam produk dengan harga yang jauh lebih mahal. Merknya merk
luar tapi isinya punya kita. Kita beli suatu produk di luar negeri tapi
kenyataannya isinya berasal dari negara kita. Bila seperti ini terus, apa
bedanya kita dengan bangsa terjajah?
Komentar
Posting Komentar