Tinta Para Ulama Sejajar dengan Darah Para Syuhada
Ada
sebuah hadits Nabi mengatakan bahwa tinta para ulama disejajarkan dengan darah
para syuhada.
Hal
ini menunjukkan bahwa kemampuan tulis menulis sudah seharusnya melekat pada
diri seorang ulama. Bila definisi ulama diperluas, yakni mereka yang takut
kepada Allah; beriman dan bertakwa, maka kemampuan tulis menulis ibarat senjata
yang dapat dipergunakan setiap mukminin dan mukminat di medan jihad ghazwul fikr.
Mereka sampaikan kebenaran dan meluruskan setiap penyimpangan lewat
karya tulis yang mereka buat.
Jika
umat Islam melepaskan pena ini dari diri mereka, maka peperangan akan
dimenangkan oleh musuh-musuh Islam.
Oleh
karena itu, banjiri dunia ini dengan kebenaran lewat media tulisan. Jangan
mudah bosan karena cepat bosan engkau tidak akan mampu menegakkan kebenaran.
Setiap hari banyak hal yang bisa dikomentari untuk menegakkan kebenaran ini.
Namun kebenaran tetap haruslah tersusun dengan rapi agar tampak indah dan enak
dibaca banyak orang. Jangan sekedarnya saja tapi jangan pula menunggu sempurna
karena tidak ada karya manusia yang sempurna.
Tetaplah
bersemangat meskipun karyamu sepi pembaca. Karena seringkali manusia melihat
wujud orangnya bukan suara kebenaran itu sendiri. Dan seringkali pula mereka
melihat produktivitas dirimu dalam berkarya karena masih banyak penulis yang
karya-karya mereka terus menghiasi dunia dan itu lebih layak untuk dibaca
daripada penulis yang baru menulis satu dua tulisan kemudian mati lunglai.
Seribu langkah kaki tetap harus melalui langkah pertama. Para penulis besar
tidak wujud seketika. Mereka seringkali melalui proses panjang yang melelahkan
dan pengorbanan yang terus menerus.
Imam
Asy Syaukani rahimahullah, ulama besar dan penulis kitab Nailul Author,
sejak kecil dididik gurunya untuk menulis minimal dua baris setiap hariya.
Latihan yang terus menerus ini mampu membentuk karakternya agar konsisten dan
produktif dalam menulis. Buku yang ditulisnya mencapai 240 judul.
Komentar
Posting Komentar