Integralitas Keilmuan Muslim Dulu dan Kini


Para ulama zaman dahulu dikenal ensiklopedis, ilmu apa saja yang berkembang saat itu, dipelajari. Kata Imam Abu Hanifah, kalau memakai sandal adalah ilmu maka akan aku pelajari.

Imam Asy Syafi'i belajar ilmu firasat dan kedokteran. Pernah seorang tabib berdiskusi dengan Imam Asy Syafi'i, dia kaget dengan luasnya keilmuan kedokteran yang dimiliki sang Imam.
Imam Bukhari selain dikenal ahli hadits, dikenal juga ahli memanah yang tiada tanding di zamannya. Imam Ibnul Qayyim menulis buku tentang psikologi cinta dengan sangat bagus.
Para ulama itu seperti itu karena secara iklim pendidikan dan ilmiah di zaman itu manhaj keilmuannya adalah tauhid. Bahwa seluruh ilmu adalah milik Allah Yang Maha Esa dan mempelajarinya berarti mengesakan Allah. Bukan sekuler seperti sekarang. Kita dididik dari kecil sudah dikotak-kotakan dengan adanya jurang ilmu yang dalam.
Oleh karenanya, untuk menciptakan iklim yang seperti dulu lagi menjadi tidak mudah. Untuk menciptakan orang yang ahli ekonomi tetapi juga paham syariah, itu tidak mudah.
Ada ahli ekonomi tapi baru belajar syariah saat dewasanya. Sedangkan ulama zaman dulu, belajar syariah sejak dari kecil, hafal alquran, hafal ribuan hadits, hafal kitab-kitab para ulama, dan memahami waqi' zamannya.
Makanya di zaman sekarang ini orang bicara sesuai spesialisasinya dan interdisiplin ilmu, saling bertukar pikiran mencari titik temu. Jadinya ketika di zaman now ada orang berani mengkritik ijma para pakar itu memang luar biasa. Entah lebih pakar atau memang kurang adab.
Bagi saya, orang zaman sekarang, meskipun pakar, harus lebih banyak belajar dan tawadhu. Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari dalam Perjuangan Bangsa

Manfaat Mempelajari Tafsir Alquran

Akibat Berbuat Zalim

Tiga Sebab Keruntuhan Peradaban Islam di Andalusia

Mengapa Banyak Orang Barat Menjadi Ateis?