Kemandirian dalam Kesederhanaan
"Orang yang cerdas mengatur
hidupnya di dunia dengan akalnya. Jika hidup dalam kemiskinan, ia berusaha
keras untuk menghasilkan rezeki yang mencegahnya dari penghinaan manusia. Ia
juga mengurangi kebergantungannya kepada orang lain dengan cara hidup
sederhana. Oleh karena itu, ia hidup tenang dan tak pernah mendengar ocehan
manusia yang sampai ke telinganya. Ia hidup dengan harga diri di tengah-tengah
mereka. Jika hidup dalam kekayaan, ia menggunakan akalnya untuk tidak
berlebihan menggunakan hartanya, khawatir suatu saat ia menghajatkan sehingga
membuatnya rendah di mata orang lain." (Imam
Ibnu Al-Jauzy)
Saya
pernah melihat peminta-minta keluar masuk angkutan umum, bis, atau rumah-rumah
warga untuk meminta sumbangan. Tubuhnya sehat tetapi menjadi peminta-minta.
Tidak malu apalagi terhina. Tetapi di mata orang, martabatnya jatuh, rendah,
dan hina. Kenapa tubuhnya yang sehat itu tidak digunakan sebagai modal awal
untuk bekerja?
Di
pihak lain, saya memiliki seorang tetangga yang sebelah tangannya cacat. Ia
hanya mampu menggunakan sebelah tangannya yang satunya lagi. Walaupun begitu
dia tetap bersemangat dalam mencari nafkah. Dia tidak pernah meminta-minta
bahkan selalu siap menolong jika dimintai bantuan. Orangnya sederhana dan
senang beribadah. Semangatnya dalam mencari nafkah, menjadi cambuk untuk diri
saya; mengapa orang sehat seperti saya kalah semangatnya dalam mencari nafkah
dengan orang yang secara fisik berkekurangan?
Saya
juga melihat di tegah-tengah masyarakat, ada orang kaya yang gemar
menghambur-hamburkan hartanya seolah tidak ada lagi hari esok. Atau menggunakan
hartanya untuk berbuat maksiat. Saat hartanya habis, ia bisa menjadi orang yang
terhina. Teman-teman menjauhinya. Saat miskin itulah dia merasakan jika saat
kaya dulu dia tidak pandai bersyukur. Itulah. Seringkali penyesalan datang
belakangan.
Sementara
orang yang menggunakan akalnya, baik miskin maupun kaya, dia akan hidup
sederhana. Dia akan menggunakan hartanya dengan sebaik-baiknya;
menginvestasikannya untuk masa depannya dan tidak menghambur-hamburkannya untuk
tujuan yang tidak benar. Setiap rezeki yang ia dapat ia syukuri, sebagian ia
sedekahkan, bila cukup nisab ia zakatkan. Saat masa susah, ia masih memiliki
tabungan untuk menghidupinya. Saat senang, ia tabungkan agar tenang di masa
yang akan datang.
Tidak
setiap orang kaya adalah sederhana tapi setiap orang sederhana pasti kaya.
Kekayaan dan kemiskinan hanyalah materi, sedangkan ruhnya adalah kesederhanaan.
Komentar
Posting Komentar