Ulama Sejati VS Ulama Oplosan
Di dalam sejarah banyak tercatat kisah tentang kehidupan para ulama. Namun di antara para ulama itu terdapat oknum-oknum yang menyesatkan umat. Dengan fatwa-fatwanya mereka menjerumuskan umat pada kebatilan. Mereka menguasai dalil namun dimanipulasi agar sesuai dengan hawa
nafsu mereka.
Rasulullah Saw. telah
mengingatkan umat akan bahaya mereka. Beliau
bersabda -setelah menyebutkan jangkauan kekuasaan umatnya-,
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ
الْمُضِلِّيْنَ
"Sesungguhnya
yang aku khawatirkan terhadap umatku tiada lain adalah para pemimpin yang
menyesatkan." (HR. Ad-Darimi dalam Shahihnya dari haidts
Tsauban, Imam Abu Dawud al-Thayalisi dari hadits Abu Darda')
Penggunaan kata "innama"
secara umum memiliki makna hashar
(pembatasan). Ini menunjukkan besarnya bahaya pemimpin penyesat. Pemimpin
penyesat adalah pemimpin sesat yang mencakup penguasa perusak, ulama penyesat,
dan ahli ibadah yang sesat (ngawur). Keberadaan mereka menggiring umat kepada
kesesatan, menghancurkan agama mereka,dan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan
mereka. Termasuk di dalamnya adalah para du'at
(pendakwah dan penceramah); jika mereka menyeru kepada kesesatan maka bahayanya
tidak lagi diragukan. Jika masyarakat sudah percaya kepadanya dan yakin dengan
ilmunya, maka ia akan merusak akidah dan keimanan mereka. Ini seperti hadirnya
pemimpin kelompok-kelompok sesat yang mengaku sebagai imam mahdi dan
sebagainya.
Dari Ziyad bin Hudair Ra., ia berkata: Umar bin Khaththab Ra. berkata kepadaku: “Tahukah engkau apa yang akan merobohkan Islam?”
Aku menjawab: “Tidak (tahu).” Beliau berkata: “Yang
akan merobohkan Islam adalah penyimpangan ulama, debatnya munafik dengan
Al-Qur'an, dan hukum para pemimpin penyesat."
Saya dapati dalam sejarah, justru ulama-ulama terkemuka
yang dicatat dalam sejarah adalah para ulama yang saleh, teguh pendirian, jauh
dari bermuka dua dihadapan para penguasa, dan setia dalam membela kebenaran walaupun nyawa taruhannya. Sebut
saja misalnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Izz
Abdus Salam, Imam Nawawi, Imam Ibnu Al-Jauzy, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah, dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Siapa yang tidak mengenal
mereka? Di antara mereka ada yang disiksa, dihina, dan dipenjarakan hanya karena
mengatakan kalimatul haq dihadapan penguasa zalim saat itu. Tetapi nama mereka
senantiasa dikenang, dicatat sejarah dengan tinta emas.
Sedangkan para ulama penjilat penguasa di mana mereka
kini berada? Dalam lembaran sejarah mana nama mereka dipuja dan dipuji?
Siapakah ulama dari kalangan mereka yang keahliannya melebihi ulama-ulama yang
telah saya sebutkan di atas?
Alangkah baiknya saya sebutkan tiga contoh ulama yang
shalihin, amilin dan mujahidin. Semoga semakin bertambah kuat hujjah di atas.
Imam Abu Hanifah
Berulang kali beliau menolak tawaran untuk menjadi Qadhi
(hakim) dari penguasa setempat. Penguasa tersebut merasa direndahkan oleh
penolakan itu. Akibatnya Abu Hanifah pun disiksa dan di penjara. Setiap
berganti penguasa, beliau selalu menolak tawaran yang sama. Akibatnya beliau
bernasib serupa seperti sebelumnya. Apa yang dikatakan Imam Abu Hanifah ketika
menghadapi kezaliman ini? Beliau berkata, “Hukuman dera di dunia lebih ringan
daripada hukuman neraka di akhirat nanti.” Hukuman inilah yang mengantarkan
beliau pada kesyahidan.
Mengapa Imam Abu Hanifah menolak tawaran menjadi Qadhi?
Karena menjadi Qadhi pada saat itu hanya melegitimasi nafsu sang penguasa.
Imam Malik bin Anas
Di antara ujian yang dideritanya pada tahun 146 H. adalah
Khalifah Abu Ja’far melarangnya menyampaikan hadis yang berbunyi, “Tidak ada
thalak bagi orang yang dipaksa.” Diam-diam, ada yang mananyakan kepada Imam
Malik tentang hadits tersebut, hal ini mendorong sang Imam menyampaikan hadits
ini ke khalayak. Mendengar demikian Ja’far bin Sulaiman, Gubernur Madinah
memukul Imam Malik 30 kali, dalam riwayat lain lebih 30 kali dan ada yang
mangatakan 70 kali, serta ada pula menyebutkan lebih dari itu. Sebagian perawi
menyebutkan, penyebab Imam Malik dipukul dikarenakan fatwa, bahwa pengangkatan
Abu Ja’far sebagai Khalifah tidak sah karena melalui paksaan.
Namun hukuman demi hukuman yang diderita, tidak membuat
Imam Malik turun derajat, bahkan sebaliknya. Dirinya makin menjadi lebih
terhormat dan masyhur di mata umat. Al-Hunaini teman Malik menuturkan, “Setelah
menderita hukuman pukul, tangan Imam Malik menjadi kaku tidak dapat diangakat.
Demi Allah, setelah ia dipukul, ia menjadi lebih terhormat dan lebih besar
sehingga seakan-akan pukulan itu menjadi perhiasan baginya.”
Al-Qarawi menguatkan, “Ketika Malik bin Anas dipukul dan
disiksa, orang-orang datang menjenguknya ketika siuman, ia berkata, “Aku
jadikan kalian saksi bahwa orang yang memukuliku aku maafkan.” Al-Qarawi
melanjutkan, “Pada hari kedua, kami kembali menjenguk. Ternyata ia sudah dapat
berdiri, lalu kami ucapkan sesuatu yang telah kami dengar darinya. Dan
kepadanya kami berkata, ‘Engkau telah menderita seperti ini.’ Ia bertutur,
“Kemarin aku takut meninggal lalu aku berjumpa dengan Rasulullah, dimana aku
sangat malu kepada beliau jika sebagian muslim masuk neraka lantaran aku.”
Al-Mutharrif berkomentar, “Aku dapati bekas cambukan di
punggung Malik, aku telah memeriksanya dan nampaknya saat meraka mencambuknya,
mereka membuka baju Imam Malik sehingga ia dapat meluruskan sorbannya karena
babak belur pada pundaknya. Imam Malik sangat malu pada dirinya, saat pakaian
yang menutupi dada dan pahanya terlepas akibat cambukan. Terbukanya paha lebih
berat baginya daripada cambukan yang ia derita, ia lebih merasa sakit karena
dadanya kelihatan ketimbang karena cambukan.” Begitulah sekelumit cerita
tentang karakter kesabaran, konsistensi, dan perjuangan sang Imam dalam
menyebar dan mempertahankan kebenaran, sesuatu yang sangat langka di era
pragmatisme saat ini.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi
Beliau diberi hadiah raja Ghuuri seorang budak perempuan
dan uang banyak sebesar seribu dinar. Maka dikembalikannya uang itu sedangkan
budak perempuan itu dimerdekakannya dan menjadikannya sebagai pelayan di hujrah
Nabawi. Lalu ia berkata kepada sang penguasa itu, “Jangan berusaha memalingkan
hanya dengan memberi hadiah semacam itu karena Allah telah menjadikan aku
merasa tidak butuh dari hal-hal semacam itu.”
Oleh karena itu beliau rahimahullah dikenal sebagai
seorang yang berani tapi beradab, semangat dalam menegakkan hukum-hukum
syari’at dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Tidak takut dalam
kebenaran celaan orang yang mencela. Ia telah diminta untuk memberikan fatwa
serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan kehakiman, maka beliau tetap
berusaha untuk adil dan menerapkan hukum-hukum dien tanpa memperdulikan
kemarahan Umara’ maupun penguasa. Bahkan jika ia melihat ada Qadhi (hakim) yang
menta’wilkan hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka
maka beliau menentangnya dan menyatakan pengingkarannya serta cuci tangan
darinya. Menerangkan kesalahannya, dan meluruskannya, seperti yang
dikemukakannya dalam kitab “al-Istinshaar bil Wahid al-Qahhar.”
Siapapun kita tentu lebih senang dengan orang yang
berilmu dan beramal ketimbang orang yang berilmu tapi tidak beramal atau
sedikit amalnya. Karena bahasa amal lebih kuat pengaruhnya ketimbang bahasa
lisan atau teori semata. Bila kita membaca buku-buku yang ditulis Imam Syafi'i,
Imam Nawawi, dan para ulama shaleh lainnya, lihatlah juga sisi perjuangan
mereka. Karena buku-buku itu hadir bersamaan dengan hinaan para penguasa yang
zalim, siksaan yang mengantarkan syahadah, penolakan pada kebatilan, dan
ketundukan hanya pada kebenaran.
Komentar
Posting Komentar